Jumat, 20 Maret 2009


KAJIAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER PAKISTAN, BANGLADESH, MESIR, MYANMAR DAN THAILAND DIHADAPKAN PADA KONDISI INDONESIA

Oleh Kolonel Kav I Wayan Midhio

1. Pendahuluan

Meningkatnya sikap kritis publik terhadap hubungan sipil dan militer (seperti yang terjadi di Thailand, Pakistan dan Myanmar belakangan ini, serta Indonesia pada tahun 1998) memberi gambaran tentang adanya pergeseran dalam hubungan sosial dan budaya dari masyarakat yang gejalanya akan semakin mengalami proses demiliterisasi sebagai akibat tumbuhnya demokrasi. Dengan demikian muncul anggapan bahwa militer semakin menjadi institusi khusus yang profesional, sehingga cenderung untuk semakin terpisah dari kelompok massa warga negara sebagai masyarakat yang demokratis. Dalam hal ini, pertanyaannya adalah apakah militer akan selalu menjadi “bagian dari wacana rakyat“ ataukah hanya berperan sebagai aparatur negara akan sangat tergantung pada militer itu sendiri.

Hubungan sipil militer merupakan jalinan pokok dalam strategi keamanan nasional. Di masa damai, hubungan ini akan mempengaruhi stabilitas internal suatu negara, sebaliknya di masa perang, hubungan ini akan sangat menentukan suatu hasil peperangan. Pengertian hubungan sipil militer menurut pemikiran barat sebagai prinsip-prinsip kontrol otoritas sipil terhadap militer, merupakan tema sentral. Namun demikian, dalam prakteknya di negara-negara yang sedang membangun tidak sepenuhnya bisa diterapkan dengan baik. Di negara berkembang, khususnya bagi negara-negara yang mengalami penjajahan atau pendudukan oleh bangsa lain, militer memiliki peran yang sangat penting dalam mengusir penjajah dari negerinya dan menjadi sangat menentukan dalam politik domestik.

Dalam kurun waktu setahun terakhir ini, isu demokrasi mulai menyeruak kembali seiring dengan timbulnya kudeta oleh militer terhadap pemerintahan yang sah di Thailand, unjuk rasa oleh rakyat Pakistan agar Presiden Musharaf turun, serta protes aksi damai yang dilakukan oleh sejumlah biksu (sekitar 100.000) di Myanmar kepada pemerintahan junta militer yang dipicu dari kenaikan harga bahan bakar minyak hingga 500%. Demikian juga peran militer di Bangladesh dan Mesir sangat mempengaruhi dinamika kehidupan praktis di negara tersebut. Junta di Thailand merebut kekuasaan dilakukan secara damai oleh pihak militer. Sementara itu di Pakistan dan Myanmar protes yang dilakukan rakyat mendapat perlawanan dari pemerintah secara represif, bahkan di Myanmar penanganan terkesan brutal sehingga mengakibatkan 13 orang tewas menurut versi pemerintah Myanmar, diantaranya seorang wartawan dari Jepang meninggal.

Pembahasan naskah akan mendeskripsikan tentang hubungan sipil-militer yang terjadi di Pakistan, Bangladesh, Mesir, Myanmar, dan Thailand. Hasil peninjauan akan menjadi bahan pembanding bagi hubungan sipil militer yang terjadi di Indonesia dimana militer (TNI) pernah mendominasi penyelenggaraan kehidupan bernegara selama kurang lebih 32 tahun. Hasil komparasi tersebut akan memperlihatkan kemajuan apa yang telah dicapai oleh Indonesia dalam proses menuju masyarakat yang lebih demokrasi dan kekurangan apa yang dapat menjadi pelajaran dalam penyelenggaraan hubungan sipil militer dibanding ke-lima negara itu.

2. Latar Belakang Pemikiran.

a. Konsep Pelibatan (involvement) dan Campur Tangan (Intervention)

Samuel Huntington mengidentifikasikan empat peran yang mungkin dapat dilakukan oleh militer dalam bidang politik-militer yaitu sebagai penasehat (advisory), perwakilan (representative), pelaksana (executive), dan penganjur/penyokong (advocatory). Tiga hal pertama dianggap sebagai dapat diperkenankan/sah (legitimate). Namun untuk yang ke-empat dapat bermakna lebih luas dengan segala kemungkinan dimana militer dapat mengabaikan kepemimpinan yang telah terpilih dengan cara melakukan kegiatan politik baik secara terbuka maupun tertutup.

Tiga hal pertama merupakan bentuk pelibatan dan satu hal terakhir merupakan bentuk intervensi. Menurut Joseph Moskowitz, keempat peran militer tersebut sulit dibedakan. Dalam hal ini, pelibatan didefinisikan sebagai kondisi dimana elit militer, yang memiliki akses baik langsung maupun tidak langsung pada para pengambil keputusan di pihak pemerintah “menggunakan akses tersebut untuk mencapai tujuannya”. Sedangkan campur tangan cenderung menggambarkan keikutsertaan militer dalam bidang dan kegiatan yang tidak seharusnya militer berada didalamnya. Sebagai contoh, apabila militer melanggar batas-batas konstitusi dengan memanfaatkan pengaruhnya seperti melakukan pemilihan atau mempengaruhi pemilihan elit politik; atau memobilisasi dukungan publik terhadap suatu rejim, atau dukungan terhadap suatu kebijakan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk peran langsung atau tidak langsung sebagai suatu kelompok penekan dalam pemerintahan.

b. Definisi hubungan sipil – militer.

Dalam membahas hubungan baru sipil - militer, ada baiknya mendefinisikan terlebih dahulu apa itu "hubungan sipil - militer". Secara umum, di negara-negara Barat terdapat model hubungan sipil - militer yang menekankan "supremasi sipil atas militer" (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara berkembang yang menganut sistem demokrasi liberal, khususnya di negara-negara yang menganut sistem Westminster Inggris dengan berbagai modifikasinya,

Dalam melakukan kontrol terhadap militer akan terjadi ”check and balance” oleh masyarakat dan parlemen terhadap hal-hal yang dilakukan oleh militer. Agar dapat melakukan ”check and balance”, maka pihak sipil harus memiliki kemampuan dan pemahaman yang sama dengan militer terhadap masalah-masalah pertahanan. Tanpa adanya pemahaman tersebut, ”check and balance” tidak ada artinya dan bahkan cenderung kontra produktif.

3. Perkembangan di Pakistan

a. Keterlibatan Militer dalam Politik

Angkatan perang Pakistan (dan India) pada awalnya berasal dari British Indian Army. Pada saat kemerdekaan Agustus 1947, angkatan perang tersebut memiliki kultur, etos dan tradisi yang sama, termasuk pemahaman atas supremasi sipil atas militer – yang merupakan tradisi warisan dari pemerintahan/penjajahan Inggris. Paska kemerdekaan India dan Pakistan menjalani jalur yang berbeda, India menjadi negara demokrasi terbesar yang tetap mempertahankan supremasi sipil atas militer, di sisi lain militer Pakistan lebih dominan atas sipil dalam politik domestik. Militer pada dasarnya secara konstitusional dilarang berkecimpung dalam urusan politik domestik. Sesuai konstitusi, militer Pakistan bertanggung jawab untuk mempertahankan negara dari agresi eksternal dan ancaman perang, serta membantu otoritas sipil jika dibutuhkan. Dalam satu dekade pertama masa kemerdekaan, Pakistan merupakan negara demokrasi parlementer yang dipimpin oleh birokrat yang dibantu oleh militer sebagai partner. Tidak ada pemilihan yang dilakukan untuk posisi jabatan kepala negara dan gubernur jenderal. Pada umumnya mekanisme yang dilaksanakan adalah melalui penunjukkan dan penggantian sesuai keinginan pimpinan.

Karena pihak yang berkuasa tidak ingin menyerahkan/membagi kekuasaan maka militer mulai mengintervensi proses demokrasi. Kudeta militer pertama kali dilakukan pada tahun 1958 oleh KSAD Pakistan, Jenderal Muhamad Ayub Khan. Kudeta militer terpaksa dilakukan karena dipandang tidak ada alternatif lain untuk mencegah terjadinya disintegrasi nasional. Dalam hal ini, justifikasi yang digunakan adalah menyuarakan dan meletakkan dasar-dasar demokrasi untuk kestabilan masa depan Pakistan (janji yang selalu diucapkan oleh para pemimpin kudeta militer, termasuk Pervez Musharraf). Hal lain yang mendukung adalah dukungan pemerintahan militer oleh AS dalam bidang politik dan ekonomi. Karena melalui KSAD Pakistan mampu menjadi bagian anggota pakta SEATO dan CENTO pada tahun 1950.

Pada tahun 1958, pemerintahan militer membubarkan konstitusi parlemen 1956. Selanjutnya, pada tahun 1962 Ayub Khan membentuk sistem pemerintahan presidensial dan sistem negara terpusat. Dengan kekuasaan total semacam itu maka presiden dapat menguasai dan membubarkan pemerintahan propinsi. Keadaan tersebut menimbulkan protes keras di propinsi barat dan timur Pakistan, yang terjadi pada masa puncaknya pada tahun 1968.

Karena pihak militer takut akan menjadi sasaran demostrasi maka dukungan kepada Ayub ditarik, dan menggantikannya dengan KSAD Jenderal Yahya Khan pada 25 Maret 1969. Pemerintahan ini merupakan pemerintahan militer terpendek di Pakistan. Pada masa ini, konstitusi 1962 yang dibentuk Ayub Khan dibekukan, kemudian diganti dengan Legal Framework Order pada 30 Maret 1970 untuk mengembalikan sistem pemerintahan menjadi sistem parlementer. Pada bulan Desember 1970 Jenderal Yahya melaksanakan pemilu yang pertama. Pemilu itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak akan ada partai yang akan memenangkan pemilu mencapai jumlah mayoritas. Kenyataannya, partai milik Syekh Mujibur Rahman, Liga Awami menyapu semua suara di propinsi Timur dan mencapai mayoritas, sehingga berhak untuk membentuk sebuah pemerintahan. Ternyata militer tidak mengakui dan menghormati hasil yang dicapai itu. Selanjutnya pihak militer menggunakan kekuatan untuk mengatasi para pengunjuk rasa (Bengali) yang tidak menyetujui kebijakan yang diambil militer. Hal ini menyebabkan terjadinya perang sipil dan intervensi India yang mengakibatkan terbentuknya negara Bangladesh pada 16 Desember 1971.

Pada awalnya, para elit politik bersatu dalam mempertahankan ambisi politik militer melalui pelembagaan pemerintahan demokratis. Tetapi, pada tahun 1973, seluruh partai menyetujui pembentukan konstitusi baru yang didasarkan pada federalisme dan demokrasi parlementer. Artikel 245 dalam konstitusi ini menempatkan pengaruh komando dan kendali militer dibawah pemerintahan federal. Konstitusi ini juga membatasi peran militer hanya untuk pertahanan eksternal, dan membatasi peran internal untuk membantu pemerintahan sipil pada saat dibutuhkan. Artikel 244 memerintahkan kepada para anggota militer untuk mengambil sumpah dalam menegakkan konstitusi dan menarik diri dari aktifitas politik. Sesuai Artikel 6, segala jenis upaya yang akan merusak dan menghancurkan konstitusi, dianggap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara sehingga dapat dihukum seumur hidup atau hukuman mati.

Pada tahun 1977, pemerintahan yang didukung militer disingkirkan. Karena menyadari kekalahan yang lalu sebagai sebuah kegagalan, dan akan menuntut sebuah pertanggungjawaban, komando tertinggi segera mengalihkan kekuasaan kepada Zulfikar Ali Bhutto, dimana partainya, Pakistan People’s Party (PPP), memenangkan mayoritas pemilihan di sayap Barat. Namun dalam perjalanannya, Ali Bhutto gagal untuk memperkuat institusi demokrasi dan gagal menghargai norma-norma demokrasi. Pada saat Bhutto justru mengecam sikap turut campur militer[1], dia malah memanfaatkan militer dan agen intelijen untuk melawan musuh politiknya, bahkan membentuk “internal security” dalam tubuh ISI (Inter-Services Intelligence Directorate).

Pada saat kredibilitas Bhutto menurun, kepemimpinan militer menjadi tidak sabar dan berambisi. Setelah pemilu pada Maret 1977, PM Ali Bhutto diturunkan. Selanjutnya Jenderal Zia Ul Haq yang menerapkan aturan militer pada 5 Juli 1977 menangkap dan menahan Ali Bhutto, serta membekukan penerapan konstitusi. Jenderal Zia Ul Haq, pada saat itu mendeklarasikan : ”pada saat pemimpin politik gagal untuk mengendalikan negara keluar dari krisis maka suatu hal yang tidak dapat dimaafkan bagi angkatan perang untuk berdiam diri menjadi penonton. Ini adalah alasan utama militer (AD) untuk turut campur dalam rangka menyelamatkan negara”.

Untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaan yang diperolehnya, Zia Ul Haq berjanji akan mengembalikan demokrasi dan melakukan pemilu yang konstitusional dalam waktu 90 hari. Pada bulan September 1978, Zia Ul Haq mengangkat diri menjadi Presiden sebagai wujud ketidakinginan untuk memberikan/berbagi kekuasaan. Setahun kemudian Bhutto dihukum mati atas tuduhan upaya pembunuhan. Pada masa Zia ini, penggunaan kekerasan untuk membekam gejolak sipil terbiasa dilakukan. Mahkamah keadilan bahkan memberikan ijin pengambilalihan kekuasaan atas dasar “doctrine of necessity” dan bahkan mengijinkan Zia untuk mengamendemen konstitusi, dan melegitimasi pemerintahan militer. Zia juga memanfaatkan isu agama sebagai faktor legitimasi, dan memulai proses Islamisasi kebijakan, menciptakan partai-partai bernafaskan agama (Islam) kedalam pemerintahan.

Tahun 1984, masa jabatan Zia diperpanjang melalui referendum yang telah terkondisi selama lima tahun ke depan. Presiden diberi hak untuk membubarkan National Assembly, menunjuk kepala staf angkatan, hakim dan mahkamah tertinggi, serta gubernur propinsi. PM dan Kepala Pengadilan menjadi pembantu Presiden, sementara itu DPR menjadi badan penasehat. Tahun 1985, Zia yang masih menjabat KSAD mengklaim telah mengembalikan demokrasi dan telah melakukan amandemen konstitusi ke-8 pada Oktober 1985.

Militer Pakistan pada saat itu mendapat keuntungan karena aliansi dengan AS dalam perang Afghanistan, diantaranya berbentuk bantuan milyaran dolar untuk bidang ekonomi dan militer. Namun demikian, keadaan ini gagal mencapai popularitas demokrasi. Strategi “divide and rule” Zia Ul Haq untuk melanggengkan kekuasaan militer dengan cara memperlemah oposisi sipil, manipulasi politik militer juga memperlebar perbedaan antar etnis, regional, dan aliran sektarian. Bahkan sistem yang diterapkan juga telah mengasingkan etnis minoritas, khususnya suku Sindh, dimana seorang PM Sindh (Ali Bhutto) dihukum mati (digantung) oleh militer yang didominasi suku Punjabi. Pemanfaatan isu agama Islam oleh militer dalam perang Afghanistan memberikan efek negatif berupa kekerasan etnis dan sekte akibat adanya kemudahan akses persenjataan. Disamping itu perdagangan obat terlarang dari Afghanistan juga ikut merusak ekonomi Pakistan dan proses-proses pemerintahan. Tahun 1988, Zia Ul Haq meninggal karena kecelakaan dan itulah akhir masa jabatan politiknya. Kematiannya telah mengakibatkan ketidakstabilan domestik karena tuntutan untuk mengembalikan demokrasi semakin meningkat.

Pada Desember 1988, militer (dalam hal ini KSAD Jenderal Mirza Aslam Beg) mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan sipil sedemikian rupa, sehingga dominasi militer tetap berlanjut. Pada masa itu yang memerintah adalah Benazir Bhutto selama 2 tahun (sampai Agustus 1990), kemudian Nawaz Sharif berakhir pada tahun 1993, selanjutnya Bhutto terpilih kembali pada bulan November 1996. Pada tahun 1990, Sharif membantu militer untuk menurunkan Benazir Bhutto, karena Sharif menyetujui otonomi militer dalam peran dan misi militer baik internal maupun eksternal militer. Suatu hal dimana Bhutto tidak menyetujui hal itu.

Pada 1 April 1997, amandemen Konstitusi ke-13 disahkan yang isinya bertentangan dengan amandemen ke-8 pada masa Zia Ul Haq. Isinya antara lain parlemen dibentuk secara berdaulat dan membebaskan militer dari sanksi konstitusi apabila terlibat intervensi urusan politik. Amandemen ini dilakukan pada masa Sharif yang mendapat dukungan semua partai utama. Pada saat Sharif berkuasa, PM ini pernah memaksa KSAD Jehangir Karamat untuk mengundurkan dir, karena Karamat meminta sanksi secara konstitusional terhadap peran militer dalam politik. Selain itu, Sharif memiliki kepentingan pribadi atas reformasi demokrasi, mentarget pemimpin oposisi (Bhutto) dan berusaha mengabaikan kebebasan yudisial. Pada masa itu juga, Sharif berusaha mengganti KSAD Pervez Musharraf dengan calon pilihannya. Hal itu juga yang nantinya bisa menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kudeta atas Sharif. Mencermati gelagat demikian, Musharraf dan para komandan korps lainnya pun mulai mengabaikan strategi lama untuk berbagi kekuasaan dengan pemerintah yang terpilih, karena mereka percaya bahwa kudeta lebih dapat mengedepankan kepentingan organisasi angkatan perang dan negara.

Kudeta yang dilakukan Jenderal Musharaf bermula dari ketidaksetujuan militer terhadap perjanjian damai dengan India yang dibuat oleh pemerintahan Sharif tentang masalah Kashmir. Kubu militer yang dipimpin Musharraf menolak perjanjian tersebut dengan tetap mengirimkan tentara pengganti di sepanjang garis pengawasan di Kashmir. Hal itu sebenarnya dapat dilihat sebagai tidak saja ketidaksabaran militer melihat pemerintahan sipil, tetapi juga pengabaian terhadap norma-norma demokrasi yang sedang berlangsung. Kubu militer merasa yakin dapat melaksanakan pemerintahan negara secara efisien. Hal semacam itu diabaikan oleh PM Sharif, sehingga Musharraf dan rekannya memutuskan untuk menumbangkan pemerintahan Sharif secara terencana.

Di sisi lain, sebagai pribadi kepemimpinan Sharif yang otoritarian banyak menimbulkan keheranan bagi para pemimpin partai yang sedang memerintah. Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, kubu militer berkeyakinan kudeta yang akan dilakukan mendapat pengakuan, bahkan secara internasional (khususnya AS) dengan alasan bahwa kudeta adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dengan alasan untuk mengakhiri pemerintahan sipil yang korup, tidak efisien dan otoritarian. Akhirnya pada 12 Oktober 1999 Komandan Korps Rawalpindi, Jenderal Mahmood Ahmad menduduki kota federal, mengepung kediaman PM Nawaz Sharif dan menahannya beserta menteri kabinetnya. Sementara itu Jenderal Musharraf menyaksikan kejadian tersebut dari udara. Dan pada April 2002 melalui sebuah referendum (sesungguhnya bukan sesuatu yang konstitusional) Jenderal Musharraf terpilih menjadi Presiden. Dalam masa pemerintahan yang hampir 8 tahun, Musharraf menghadapi banyak masalah terutama setelah aliansinya dengan AS dalam perang melawan terror di Afghanistan[2] sejak tahun 2002, walaupun dengan cara itu banyak bantuan militer dan ekonomi jatuh di Pakistan. Gelombang protes terhadap pemerintahan Musharraf terjadi pada puncaknya ketika Musharraf memecat Ketua Mahkamah Agung Ifthikar Muhammad Chaudry pada 9 Maret 2007.

b. Pelajaran yang dapat diambil

1) Pakistan yang berpenduduk 165 juta sejak berdirinya belum pernah menjadi satu bangsa, walaupun 97% penduduknya Muslim. Seringnya kudeta di Pakistan telah menimbulkan implikasi bagi Pakistan dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya atas tiga alasan pokok, yaitu :

a) Intervensi (kudeta) militer yang sangat sering telah berakibat buruk bagi kestabilan, serta kesejahteraan (sosial ekonomi) masyarakat. Walaupun hasil yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan militer cukup besar, tetapi pada kenyataannya hasil yang dicapai tidak membuat rakyat merasa lebih sejahtera, dan hanya golongan tertentu saja yang menikmati.

b) Rezim militer pada umumnya bertindak kurang adil dalam mengalokasikan sumber daya ke berbagai sektor ekonomi nasional. Untuk upaya mempersatukan bangsa, milyaran sudah dikeluarkan hanya untuk anggaran militer tetapi mengabaikan kebutuhan dasar rakyat lainnya seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, keadilan dan pengharapan.

c) Ketidakadilan para rejim militer juga merupakan bentuk tribalisme antar suku di Pakistan. Semua Jenderal yang memimpin rejim adalah dari suku Punjabi.

d) Rejim militer cenderung akan mengabaikan check and balances yang merupakan bagian dari kebijakan demokrasi. Kekurangan seperti ini jika ditambah dengan tidak adanya kepekaan terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat akan mengakibatkan keresahan internal yang berkepanjangan. Hal seperti ini yang dalam jangka panjang akan bisa memunculkan perlawanan dari masyarakat.

2) Saat ini, Pakistan terjebak dalam tesis tentang “good soldiers saves nation” yang telah mendarah daging dalam jiwa militer Pakistan sejak Iskandar Mirza dan Ayub Khan[3] ketika melakukan kudeta pertama kali pada tahun 1958. Semua kudeta dilatarbelakangi dengan alasan dan janji yang sama, yaitu menyelamatkan negara dan sebagai jalan menuju demokrasi. Namun dalam prakteknya jauh dari yang dijanjikan tersebut, bahkan cenderung berupaya untuk melanggengkan kekuasaan.

3) Kudeta telah menciptakan dendam yang bermuara pada perebutan kekuasaan silih berganti dan berkelanjutan. Kejadian terakhir berupa ledakan bom bunuh diri pada pawai penyambutan kedatangan kembali Benazir Bhutto dari pengasingannya di Inggris yang menewaskan 140 orang dan 382 lainnya luka-luka mengindikasikan bahwa perebutan kekuasaan dan/atau pembagian kekuasaan belum tentu akan berjalan mudah.

4) Akibat konsentrasi militer untuk menduduki kekuasaan politik domestik, Pakistan dalam perang dengan India mengalami kekalahan, salah satu hasil kekalahannya adalah terbentuknya negara Bangladesh. Karena fokus pemikiran militer dalam strategi politik domestik lebih dominan, maka nampaknya justru akan membebani militer Pakistan dalam pemikiran strategi terhadap ancaman eksternal.

5) Faktor AS masih mendominasi Pakistan dalam kehidupan politik internal yang justru belum membawa ketenangan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Pakistan. Yang pertama, pada saat terjadi perang Afghanistan menghadapi Uni Sovyet dimana Pakistan dan AS mendukung gerilyawan mujahidin, dan kedua perang melawan teror yang dipimpin oleh AS dan sekutunya mengejar kaum Taliban (mujahidin) dengan alasan jaringan Al Qaeda ada di Afghanistan. AS dalam hal ini bermuka ganda, di satu sisi mempromosikan demokrasi, tetapi di sisi lain mendukung rejim militer. Dalam hal ini AS berkepentingan dalam mengendalikan perkembangan Islam garis keras.

6) Aliansi antara Militer dan organisasi Islam yang pernah dilakukan oleh Jenderal Zia Ul Haq ternyata telah menumbuhkan kekuatan ekstrim Islam di Pakistan. Aliansi Islam dan militer saat ini justru telah menimbulkan dua kubu radikal yang memiliki pandangan saling bertolak belakang. Islam memandang kekuatan sebagai alat untuk memperluas ideologi, sedangkan militer melihat ideologi sebagai alat untuk memperluas pengaruh (ekspansionisme). Ketika Jenderal Zia berkuasa aliansi ini bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan, karena bagaimanapun juga Islam merupakan kekuatan mayoritas di Pakistan. Hubungan ini selalu terjadi tarik-menarik yang berkepanjangan antara sipil dan militer, demikian juga terjadi tarik menarik antara kekuatan liberal dan kekuatan agama (Islam). Bahkan akibat kebijakan politik pada masa Jenderal Zia Ul Haq terhadap organisasi Islam dalam mendukung kaum mujahidin Afghanistan melawan Rusia, saat ini justru berbalik arah sehingga organisasi Islam ekstrim tumbuh subur bahkan membebani dan mengancam kehidupan demokrasi.

7) Koalisi dan pembagian kekuasaan antara militer dan partai politik atau pemimpin sipil yang berpengaruh telah menjadi hal biasa untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan. Korupsi dan nepotisme selalu menjadi salah satu alasan utama dilakukan kudeta oleh pihak militer.

4. Perkembangan di Bangladesh

a. Keterlibatan Militer dalam Politik

Terbentuknya Bangladesh tidak lepas dari krisis di Pakistan secara umum dan Pemilu itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak akan ada partai yang akan memenangkan pemilu mencapai jumlah mayoritas. Kenyataannya, partai milik Syekh Mujibur Rahman, Liga Awami menyapu semua suara di propinsi Timur dan mencapai mayoritas, sehingga berhak untuk membentuk sebuah pemerintahan. Ternyata militer tidak mengakui dan menghormati hasil yang dicapai itu. Selanjutnya pihak militer menggunakan kekuatan untuk mengatasi para pengunjuk rasa (Bengali) yang tidak menyetujui kebijakan yang diambil militer. Hal ini menyebabkan terjadinya perang sipil dan intervensi India yang mengakibatkan terbentuknya negara Bangladesh pada 16 Desember 1971. India dan Pakistan pernah berperang pada tahun 1965 di bagian Barat, tetapi adanya tekanan-tekanan para pengungsi di India pada tahun 1971 mengakibatkan ketegangan baru di di bagian Timur. India menaruh perhatian pada Timur Pakistan, dan pada November 1971 India mengintervensi bagian Bangladesh. Pada tanggal 16 Desember 1971, tentara Pakistan menyerah sehingga terbentuk negara Bangladesh (artinya negara Bengal) dengan sistem demokrasi parlementer berdasarkan Konstitusi 1972.

Konstitusi itu didasarkan atas kebijakan negara dari Liga Awami yang memiliki empat prinsip dasar yaitu; Kepercayaan dan keimanan kepada Allah SWT, Kebangsaan (nasionalisme), Demokrasi, dan Sosialisme dalam arti keadilan ekonomi dan keadilan sosial.

Pemilihan parlemen pertama dilakukan pada Maret 1973, dimana Liga Awami memenangkan mayoritas suara dan menjadi satu-satunya partai besar di Bangladesh yang dipimpin oleh Sheikh Mujibur Rahman. Terlepas dari beberapa program kemajuan yang dicapai, Sheikh Mujib menerapkan tindakan-tindakan keras terhadap aksi-aksi demo dan penurunan ekonomi, sehingga memberlakukan negara dalam keadaan darurat. Karena mayoritas Liga Awami di parlemen, Sheikh melakukan amandemen Konstitusi diantaranya berisi pembatasan kekuasaan legislatif dan yudikatif serta penerapan sistem partai tunggal.

Akibat reformasi politik yang dilakukan berjalan lambat sehingga kritik di sekitar pusat kekuasaan dan juga rakyat meningkat, pada bulan Agustus 1975, Sheikh Mujib dan seluruh keluarganya di dibunuh oleh pihak militer. Anaknya Sheikh Hasina dan Sheikh Rehana lolos karena sedang berada di luar negeri. Keberhasilan kup militer berdarah, membuat KSAD Jenderal Ziau Rahman menjadi orang terkuat. Dia menjanjikan dukungan militer pada pemerintahan sipil yang dipimpin Presiden Sayem. Atas perintah Jenderal Zia, parlemen dibubarkan dan dilakukan pemilu baru tahun 1977 serta pemberlakukan undang-undang darurat (Martial Law)

Di balik Martial Law Administration (MLA), Zia melarang partai politik, memperbaiki birokrasi yang rusak, membangun program-program ekonomi baru dan menekankan program keluarga berencana. Pada November 1976, Zia menjadi Ketua MLA, dan berlaku sebagai Presiden karena pensiun/pengunduran diri Sayem 5 bulan kemudian, serta menjanjikan pemilu pada tahun1978. Zia memenangkan pemilu dengan 76% suara. Pada November 1978 pelarangan akitivitas partai politik dicabut, selanjutnya dilakukan pemilihan anggota parlemen pada Pebruari 1979 yang diikuti 30 partai. Peristiwa ini menandai puncak transformasi pemerintahan Jendral Zia ke pemelihan secara demokratis dan konstitusional. Selain Awami League (AL), partai Bangladesh National Party (BNP) yang didirikan Zia menjadi partai utama lainnya.

Tahun 1981, Zia dibunuh oleh elemen militer yang tidak setuju kebijakan Jenderal Zia. Namun kup tersebut tidak tersebar, selanjutnya para pelaku ada yang ditahan atau dihukum mati. Pada situasi itu, Wapres Abdus Sattar mengambil keputusan untuk melanjutkan kebijakan sebelumnya dan mempertahankan kabinet sebelumnya, tetapi militer kembali ikut campur tangan.

Pada Maret 1982 kudeta tak berdarah dilakukan oleh KSAD Letjen. H.M. Ershad. Seperti sebelumnya, setelah kudeta konstitusi dibekukan, dan mendeklarasikan hukum darurat. Tahun berikutnya Ershad menjadi Presiden sambil tetap bertahan sebagai KSAD dan Ketua MLA. Dalam rangka transisi dari undang-undang darurat menuju pemerintahan yang demokratis, Ershad mendirikan Partai Jatiya sebagai persiapan pemilu untuk memperebutkan 300 kursi parlemen.

Dalam rangka pemilihan Presiden, Ershad mengundurkan diri dari jabatan KSAD dan pensiun dari dinas militer. Namun tetap terjadi protes karena undang-undang darurat masih diberlakukan. Akhirnya undang-undang darurat dicabut setelah sebelumnya kaum oposisi menolak ikut pemilihan. Pada Juli 1987 pemerintah mendapat reaksi keras dari oposisi setelah adanya pengajuan undang-undang kontroversial untuk memasukkan militer dalam dewan pemerintahan lokal. Demonstrasi semakin meningkat yang dimotori oleh oposisi, sampai akhirnya Ershad membubarkan parlemen dan merencanakan ulang pemilihan pada Maret 1988. Namun upaya tersebut gagal dan malah menundang protes dari oposisi yang akhirnya Ershad dipaksa mengundurkan diri.

5) Paska kepresidenan Jenderal Ershad pada tahun 1990, Kekuasaan di Bangladesh dipegang secara silih berganti antara PM Begum Khaleda Zia pimpinan Bangladesh National Party (BNP) yang didirikan oleh Jenderal Ziaul Rahman dan PM Sheik Hasina, pemimpin Awami League yang didirikan oleh mendiang ayahnya PM Sheik Muzibur Rahman. Selama kekuasaan PM Sheik Hasina banyak diwarnai dengan tindak kekerasan di dalam negeri sehingga sangat menggangu stabilitas. Puncak kekerasan terjadi saat menjelang pemilu tahun 2001 yang menyebabkan sekitar 155 orang meninggal dan 2.500 luka-luka Akhirnya pemilu dimenangkan oleh BNP, sehingga menghantar PM Begum Khaleda Zia pada kekuasaan sebagai PM yang kedua kali.

b. Pelajaran Yang Dapat Diambil.

1) Perang India – Pakistan tahun 1971 yang dimenangkan oleh India dan menyerahnya ribuan tentara Pakistan telah berakibat berdirinya negara Pakistan Timur dengan nama Bangladesh. Sebagai negara baru, Bangladesh dipimpin oleh Presiden Sheikh Mujibur Rahman dan sekaligus pimpinan Liga Awami.

2) Sheikh Mujiburahman menerapkan tindakan-tindakan keras terhadap aksi-aksi demo dan penurunan ekonomi, sehingga memberlakukan negara dalam keadaan darurat. Karena mayoritas Liga Awami di parlemen, Sheikh melakukan amandemen Konstitusi diantaranya berisi pembatasan kekuasaan legislatif dan yudikatif serta penerapan sistem partai tunggal.

3) Akibat reformasi politik yang dilakukan berjalan lambat sehingga kritik di sekitar pusat kekuasaan dan juga rakyat meningkat, pada bulan Agustus 1975, Sheikh Mujiburrahman dan seluruh keluarganya di dibunuh oleh pihak militer. Keberhasilan kup militer berdarah, membuat KSAD Jenderal Ziau Rahman menjadi orang terkuat. Dia menjanjikan dukungan militer pada pemerintahan sipil yang dipimpin Presiden Sayem. Walaupun pemerintahan sipil memegang kekuasaan pemerintahan, namun pengaruh militer sangat kuat, sehingga mekanisme check and balance dalam pemerintahan dan masyarakat melalui parlemen tidak berjalan.

4) Dalam pergolakan kekuasaan selanjutnya setidaknya di Bangladesh terajadi tiga kali kudeta, mulai dari Jenderal Zia dibunuh oleh kelompok militer dan digantikan oleh Wakil Presiden Abdus Sattar. Selanjutnya Presiden Abdus Sattar diganti oleh Jenderal Ershad dalam suatu kudeta tak berdarah. Peran militer sangat besar dalam proses demokrasi di Bangladesh, hal ini ditunjukan terjadinya berbagai tindak kekerasan yang hanya mungkin dilakukan pihak militer Bangladesh.

5. Perkembangan di Myanmar

a. Keterlibatan Militer dalam Politik

Myanmar (dahulu bernama Burma) merdeka secara penuh pada tahun 1948. Pada PD II Myanmar mengalami banyak kehancuran akibat perang, khususnya saat perebutan antara Inggris dan Jepang atas Myanmar (Burma). Kaum nasionalis yang tergabung dalam Burma Independence Army (BIA) dipimpin oleh Jenderal Aung San, pada awalnya bekerjasama dengan Jepang untuk mengusir Inggris dengan harapan akan membuka jalan menuju kemerdekaan. Tetapi pada akhirnya mereka bekerja sama dengan Inggris yang menduduki Burma kembali pada tahun 1945.

Peran BIA dalam proses tersebut dianggap sebagai dasar oleh para pemimpin militer bahwa militer membebaskan Burma dari penjajahan dan tetap menjadi pengawal negara secara alamiah, dengan tugas dan kewajiban untuk memimpin kehidupan bernegara. Tahun 1948, hasil negosiasi antara Jenderal Aung San dengan Inggris, mendapatkan persetujuan kemerdekaan. Namun demikian tidak semua kalangan internal menyepakati persetujuan tersebut. Sehingga Jenderal Aung San dan hampir seluruh kabinetnya tewas dibunuh oleh pesaing. Akibatnya menimbulkan kerusuhan besar di negara yang baru merdeka tersebut karena kehilangan seorang yang dihormati dan dipercaya oleh berbagai ragam kekuatan etnis dan politis sehingga terbentuk persatuan Burma (Union of Burma).

Dalam kondisi seperti itu, kekuatan bawah tanah komunis, Burma Communist Party (BCP), mulai bergerak dan mempropagandakan bahwa persetujuan kemerdekaan merupakan jual beli kaum borjuis politik kepada kepentingan dagang Inggris. Gerakan itu juga diikuti oleh etnis nasionalis suku Karen, yang loyal pada Inggris selama peperangan namun tidak pernah dijamin menjadi negara yang merdeka. Beberapa dekade ke depan, kelompok etnis lain juga melakukan pemberontakan, untuk mendapatkan otonomi dari pemerintah pusat yang didominasi oleh suku Burma.

Pada tahun 1950-an, perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan pemberontakan etnis dan ideologis, yang mengancam eksistensi negara. Pemberontakan dilakukan oleh Burma Communist Party (BCP) dan Karen National Union (KNU), yang sering dikaitkan dengan hubungan eksternal, karena gerakan-gerakan tersebut mendapat intervensi dari luar negeri. Myanmar terus menerus didera perang sipil sehingga seolah-olah menjadi gaya hidup, sehingga mengakibatkan kondisi rakyat yang tidak berkembang, miskin dan perselisihan perbedaan yang tidak pernah terselesaikan. Struktur politik dan institusi untuk mengakomodasi perbedaan etnis belum pernah ada. Setelah kemerdekaan, pembangunan nasional dan negara sangat dipengaruhi pola kepemimpinan militer, sebagai implikasi dari dominasi militer dalam negara.

Sampai saat ini, Myanmar telah mengalami pemerintahan junta militer selama hampir empat dekade lebih, yaitu sejak kup tahun 1962. Tahun 1948-1962 Myanmar mendasarkan pada prinsip netralisme[4] yang dipimpin oleh U Nu. Prinsip ini menjadi bagian dalam gerakan non-blok dimana Burma juga sebagai salah satu pendiri bersama Indonesia dan Yugoslavia. Kebijakan ini berkaitan dengan hubungan internasional Burma dengan negara lainnya secara terbuka dan tidak ingin dibatasi blok manapun dalam upaya membangun Burma.

Namun setelah kudeta 1962 oleh Dewan Revolusioner, yang dipimpin Jenderal Ne Win, kebijakan U Nu ditutup, perusahaan dan aktivitas ekonomi dinasionalisasi, interaksi dunia luar dilarang dan dibatasi sampai batas minimal. Dengan demikian prinsip-prinsip dalam netralisme yang dikeluarakan oleh U Nu hilang, dan mulailah Myanmar hidup secara terisolasi dari dunia internasional, bahkan regional sekalipun sampai saat ini. Dengan keyakinan berlebihan pemerintahan militer tidak dapat mensejahterakan rakyat melalui kebijakan yang diterapkan walaupun bantuan dari AS, Jepang dan Jerman Barat diberikan.

Kudeta berdarah terjadi pada 18 September 1988, karena Presiden Ne Win yang berkuasa sejak 1962 dan PM U Maung Maung Kha menyebabkan kebangkrutan negara. Pada awalnya demonstrasi dapat dikendalikan dengan pesan agar Presiden dan PM diturunkan. Hal ini terjadi sebulan sebelumnya, dan pada tanggal tersebut di atas, desakan tak terelakkan lagi sehingga pemerintah meminta polisi dan tentara menanggulangi demonstran yang berakibat 10.000 orang meninggal. Jenderal Saw Maung sebagai Panglima Angkatan Perang Burma mengambil alih semua kekuasaan negeri. Kudeta tersebut terutama dipicu oleh kekesalan rakyat, diantaranya hutang luar negeri saat itu mencapai empat miliar dolar.

Selain itu kehidupan politik di Burma juga sangat buruk, dimana hanya ada satu partai yang dominan yaitu Partai Sosialis Burma, dan segala sesuatu juga berada di bawah kendali pemerintah. Dalam janjinya Jenderal Saw Maung hanya akan menyelenggarakan pemerintahan darurat selama 2 bulan dan akan mengadakan pemilu setelah itu. Guna mengembalikan demokrasi, dibentuk badan State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang terdiri dari 18 personel militer yang diketuai oleh Jenderal Saw Maung yang juga merangkap PM sampai tahun 1992, selanjutnya diganti oleh Jenderal Than Shwe.

Pada bulan Mei 1990 diadakan pemilu sebagai janji yang ditepati oleh dewan ketika mengambil alih kekuasaan. Pemilu berlangsung antar dua partai yaitu yang didukung oleh SLORC yaitu Partai Persatuan (nama lain partai sosialis Burma) dan National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Su Kyi (putri dari Jenderal Aung San. Hasil yang dicapai 52,9% suara dimenangkan oleh NLD sehingga berhak 392 kursi dari 485 yang ada di parlemen. Namun hasil tersebut tidak diakui oleh SLORC

Tahun 1997 SLORC diubah menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Kedua dewan tersebut pada prinsipnya sama, yaitu kekuasaan oleh militer dan tidak ada maksud hendak memberikan jalan bagi tumbuhnya demokrasi, bahkan secara sadar melakukan dominasi atas aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pidato pada 27 Maret 2000, Jenderal Senior Than Swe mengingatkan kembali tentang peran militer (Tatmadaw) dalam kejadian “4 krisis” yaitu 1948, 1952, 1962 dan 1988. Dia mengatakan bahwa jika militer tidak ikut turun tangan maka negara sudah hancur 4 kali, dan sekiranya pada tahun 1988 tidak mengambil alih pemerintahan maka situasi berdarah tidak akan kunjung selesai. Dalam pernyataannya disampaikan bahwa semua yang betolak belakang dnegan negara dianggap tidak sah, anti-nasional dan diduga disusupi inspirasi asing. Disamping itu pluralism dalam politik tidak akan ditoleransi karena dipandang akan menghancurkan kesatuan nasional dan keamanan nasional.

Dengan keadaan ini, pihak militer secara historis sangat mencurigai demokrasi yang berbasis sipil, yang dipandang tidak kompeten. Rejim ini juga sangat mencurigai upaya eksternal,khususnya dari barat yang mempromosikan demokrasi. Oleh karena itu demokrasi menurut pemerintah disebut sebagai “demokrasi disiplin”. Jika dipahami, menampakkan sebagai upaya pemerintah menangkal pendapat bahwa demokrasi telah gagal di Burma. Sebagai oposisi yang melawan kebijakan pemerintah ada empat, yaitu National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Su Kyi, masyarakat secara umum, mahasiswa serta para biksu budha.

b. Pelajaran yang dapat diambil

1) Pemerintahan Militer Myanmar terjebak dalam keyakinan nasionalisme militer yang berlebihan dan kontra produktif. Hal ini berdampak sangat buruk bagi perkembangan bangsa dan negara dalam kurun waktu hampir empat dekade, dimana kondisi rakyat sangat miskin, bahkan walaupun negara ini memiliki kekayaan gas dan minyak yang besar, sementara para pemimpin militer menikmati hasil kekayaan perusahaan negara.

2) Dengan semangat percaya pada diri sendiri, sangat sedikit para perwira yang mengenyam pendidikan di luar Myanmar. Oleh karena itu, perubahan cara berpikir di kalangan militer masih tertinggal termasuk dalam pemahaman tentang globalisasi, dimana demokrasi ada didalamnya.

3) Dalam masalah domestik, bahkan pada kerusuhan bulan September 2007, Myanmar tetap menutup diri dari mediasi asing dan bahkan mematikan jaringan komunikasi untuk menghindari bocornya informasi ke dunia luar. Myanmar melakukan hal ini sebagai upaya menjaga kehormatan dan harga diri dan juga kebanggaan nasional. Keadaan itu merupakan keterjebakan pemerintah junta militer atas doktrin yang dikembangkan sendiri tetapi tidak memberikan hasil yang diinginkan. Yang terjadi justru sikap represif yang sangat berlebihan dan menewaskan banyak korban rakyat sipil.

4) Tuntutan perubahan (termasuk kudeta tahun 1988) berupa aksi damai dari para biksu yang mencapai 100.000 pada September 2007, pada prinsipnya merupakan wujud kekesalan rakyat terhadap kekuasaan militer yang tidak membawa perubahan bagi rakyat, terutama dalam masalah yang menyangkut kebutuhan paling dasar. Kenaikan harga BBM sampai 500% dimana rakyat sudah sangat miskin, memicu demonstrasi secara damai oleh para Biksu sebagai lambang kekuatan moral, orang yang sangat dihormati di Burma.

5) Tampaknya isu kemiskinan merupakan tampak fisik, tetapi nampaknya dengan minimnya interaksi dengan dunia luar sebagai akibat penerapan kebijakan rejim militer, secara psikologis rakyat Birma menderita secara psikologis, karena pemerintahan yang membuat masyarakat tidak punya harapan karena hidup dalam tekanan-tekanan ekonomi dan sosial yang cukup berat dan telah berlangsung sedemikian lama, sebagai akibat sistem pemerintahan yang otoriter.

6) Walaupun pemerintah telah mencanangkan tujuh langkah proses menuju demokrasi , nampaknya janji program itu hanya janji belaka, sebab tuntutan demonstran ditanggapi dengan keras. Pihak oposisi yang diharapkan sebagai pengontrol atas kebijakan pemerintah justru sangat dibatasi dan bahkan ditekan. Pemerintaha dikuasai militer secara penuh, sehingga tidak terjadi ”check and balance” dalam penyelenggaraan pemerintahan.

6. Perkembangan di Thailand

a. Keterlibatan Militer dalam Politik.

Sebuah revolusi tak berdarah (kudeta) pada tahun 1932 menyebabkan dimulainya monarki konstitusional, militer Thailand, khususnya Angkatan Darat, mempunyai pengaruh politik yang sangat besar bahkan sangat menentukan. Sekalipun Thailand menjadi Negara yang demokratis, pergolakan masih terus terjadi. Sampai kini sudah terjadi 25 kali kudeta, 40 kali ganti perdana menteri dengan 25 figur perdana menteri. Karena kudeta selalu terjadi sehingga tampak menjadi budaya di Thailand. Walaupun militer yang mengambil kekuasaan pemerintahan, junta tetap menjanjikan udara demokrasi di Thailand. Namun demikian, pengalaman 25 kali, pengambilalihan kekuasaan menimbulkan keraguan terhadap proses demokrasi di Thailand.

Alasan kudeta tak berdarah tahun 2006 menurut pihak militer dikarenakan oleh beberapa hal yaitu; Pertama, Pemerintahan Thaksin telah menyebabkan krisis yang berkepanjangan di Thailand. Jika Thaksin dibiarkan terus berkuasa maka akan menghancurkan bangsa Thailand. Kedua, Thaksin dipandang telah melakukan korupsi yang besar, nepotisme dan tindakan-tindakan lain yang merugikan negara, seperti penjualan saham Shin Corp yang bebas pajak, serta penumpukan kekayaan pribadi secara besar-besaran. Ketiga, Thaksin telah mengabaikan perintah raja, bahkan ingin menghapuskan sistem konstitusi Monarki. Keempat, Pemerintahan Thaksin kerap mencampuri badan-badan independen dan mensponsori kekerasan .Kelima, Pemerintahan Thaksin dianggap telah berupaya melemahkan AP kerajaan Thailand.

Dengan restu Raja, junta mengambil alih pemerintahan. Setelah kudeta, junta mengangkat Surayud Chulanont sebagai Perdana Menteri sementara Thailand, yang kemudian kekuasaan akan diserahkan kembali ke pemerintahan sipil. Kredo militer atas tindakan tersebut adalah ”atas nama persatuan nasional”. Militer Thailand pada awalnya adalah tentara kerajaan yang memiliki kesetiaan tinggi pada raja atau kerajaan. Oleh karena itu, militer Thailand sudah sejak lama diperlakukan secara khusus dan tempat khusus oleh kerajaan. Bahkan konstitusi mengakui hak-hak istimewa tentara sebagai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.

Seperti juga pada kudeta tahun 2006, hampir sesudah setiap intervensi politik yang berhasil, para pemimpin militer Thailand merombak konstitusi yang ada, membubarkan parlemen dan membekukan aktifitas politik. Setelah itu maka para pemimpin militer akan menjanjikan bahwa militer tidak akan ikut campur tangan dalam urusan politik. Tentang konstitusi, tak ada satu pun yang dapat bertahan lama. Karena setiap kali dinyatakan tidak berlaku oleh pimpinan kudeta berikutnya. Dengan demikian maka kekeliruan fundamental dari demokrasi Thailand terletak pada para arsiteknya.

Penyusunan Konstitusi pada umumnya sangat terbuka/memberi kebebasan pada militer dan menyebabkan negara rentan terhadap kudeta selanjutnya yang dapat dilakukan kapanpun apabila dalam penilaian mereka telah melanggar batasan-batasan yang digariskan. Beberapa isi dari Konstitusi yang disusun tahun 2007 diantaranya;

1) Jabatan PM dibatasi 8 tahun. Jumlah kursi di Dewan Perwakilan dikurangi dari 500 menjadi 480 kursi. Kursi Senat dari 200 menjadi 150 kursi.

2) Militer akan diberi amnesti atas pengambilalihan kekuasaan melalui kudeta tahun lalu yang mendepak PM Thaksin.

3) Para politisi bakal dikosongkan dari kepemilikan saham atas perusahaan media. PM dan keluarganya juga akan dikosongkan dari kepemilikan saham utama perusahaan swasta.

Sejak kudeta 19 September 2006, pada Juli 27 terjadi gelombang protes anti junta militer Thailand. Tuntutan dari para pengunjuk rasa adalah agar junta militer turun dan segera diadakan pemilu. Kerusuhan tersebut meningkat menjelang referendum konstitusi baru pasca kudeta. Kudeta itu mendapat perhatian serius dari dunia internasional. Tekanan dunia internasional terhadap junta militer Thailand meningkat. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat menghentikan bantuan militer. Sanksi ini merupakan bahaya dan risiko lain dari kudeta militer tanggal 19 September 2006. Bahaya utama tentu saja proses demokrasi di Thailand terganggu.
Penghentian secara sepihak bantuan AS senilai 24 juta dollar merupakan bentuk protes terhadap junta, yang belum menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Junta berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil dalam tempo dua pekan, tetapi mulai timbul tanda-tanda militer tidak ingin melepaskan kekuasaan. Sekalipun penjabat PM sudah ditunjuk, junta menyatakan akan tetap mengendalikan kekuasaan sampai terbentuk pemerintahan baru hasil pemilu, yang menurut rencana akan diadakan bulan Oktober 2007.
Tidak ada jaminan janji junta ditepati sebagaimana pengalaman selama ini. Bahkan negara adidaya AS meragukan janji junta. Pada lapisan yang lebih dalam, AS mencemaskan kehidupan demokrasi di Thailand. Karena itu, AS mendesak junta segera mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.
Tekanan keras lain datang dari Uni Eropa, yang mendesak junta segera memulihkan kehidupan demokrasi, pemilu bebas, perlindungan hak asasi, kebebasan berkumpul dan berekspresi. Dari kalangan ASEAN mengharapkan kudeta di Thailand tidak memengaruhi demokrasi di lingkungan ASEAN. Mungkin saja junta tidak peduli terhadap sanksi, kecaman, dan kritikan dunia internasional sebagaimana dilakukan junta Myanmar. Namun, posisi Myanmar dan Thailand sangatlah berbeda. Thailand sudah jauh terbuka, berinteraksi dengan bangsa lain, yang memberikan keuntungan ekonomi. Bisa saja junta memilih menutup diri. Langkah itu bukan saja merugikan secara ekonomi, tetapi juga belum tentu efektif bagi upaya menjaga kekuasaan junta.
Sebagian rakyat Thailand, terutama pendukung perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra, melakukan pembangkangan dengan aksi pembakaran di wilayah utara. Jelas sekali, militer tidak bisa leluasa lagi setelah melakukan kudeta seperti pada masa lalu. Di era keterbukaan yang menekankan demokratisasi, kudeta selalu dikecam, dan junta dikucilkan serta dijatuhi sanksi. Berbagai tantangan itu mulai dirasakan junta Thailand.
Keterlibatan pihak militer dalam politik di Thailand memberikan sumbangan besar pada pembangunan masyarakat, namun tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Reformasi yang terjadi di Thailand melahirkan koalisi militer-sipil dalam sistem pemerintahannya, hal ini membuat Thailand harus memulai sistem pemerintahannya dari awal kembali dengan menata menuju arah demokrasi. Banyak kepentingan atas nama demokrasi dalam sistem pemerintahan di Thailand. Tentu saja militer tidak lepas begitu saja dalam pemerintahan di Thailand. Reformasi di kubu militer membuat rakyat masih mempercayainya. Terbukti dengan masih adanya orang-orang berlatar belakang militer yang menjabat sebagai perdana menteri setelah runtuhnya rezim militer.
b. Pelajaran yang dapat diambil.
1) Kudeta di Thailand lebih merupakan sebuah budaya karena terlalu seringnya kudeta dilakukan. Tampaknya keistimewaan militer Thailand sebagai tentara kerajaan menjadi penyebab gagalnya demokrasi di Thailand berjalan secara kontinyu.
2) Akibat kudeta, membuat Thailand dikecam oleh berbagai pihak, karena berbeda dengan Myanmar yang konservatif, Thailand dianggap sudah lebih terbuka.
3) Kudeta di Thailand merupakan sebuah kemunduran dan telah memberikan implikasi buruk tidak hanya bagi Thailand sendiri tetapi juga bagi Asia Tenggara yang sedang dalam proses menuju demokrasi.
4) Para pimpinan militer Thailand mendapat jaminan amnesti jika berhasil melakukan kudeta, dengan dalaih menyelamatkan kepentingan negara dan kerajaan.
5) Kuatnya birokrasi sipil dan peran raja sebagai simbul pemersatu bangsa, tidak mengakibatkan terlalu banyak perubahan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan di Thailand walaupun berulang kali terjadi kudeta.
6. Perkembangan di Mesir.
a. Keterlibatan Militer dalam Politik.

Mesir merdeka dari Inggris pada tanggal 28 Januari 1922 setelah melalui suatu gerakan ”revolusi pertama” yang dipimpin oleh Saad Zaghlul yang dikucilkan pemerintah Inggris di Malta. Walaupun Mesir sudah merdeka, namun kekuasaan Inggris masih kuat dan menempatkan Mesir seperti boneka kerajaan Mesir di bawah Inggris. Revolusi kedua di Mesir terjadi pada diawali dengan kudeta militer pada tanggal 23 Juli 1952 yang mengganti sistem kerajaan menjadi republik. Pemimpin kudeta adalah Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser adalah kelompok perwira muda yang menamakan dirinya ”free officers” berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Faruk I dan menghapus konstitusi monarki dan merubah bentuk kerajaan menjadi republik. Free Officers selanjutnya membentuk Revolutionary Command Council (RCC) dan menunjuk Jenderal Muhammad Naguib sebagai Presiden merangkap Kepala Staf AD, sedangkan Perdana Menteri diserahkan kepada Ali Mahir.

Setelah sukses menumbangkan sistim monarki menjadi republik dan kuasaan RCC berada pada Jenderal Naguib serta pemerintahan pada Ali Mahir, namun Gamal Abdul Nasser lebih dominat. ”Free Officers” melalui Gamal abdul Nasser mengatakan ; ” maksud perubahan adalah sasaran kecil dibandingkan dengan tujuan yang lebih besar dari revolusi kami. Sasaran berikutnya adalah mencari perubahan sistem politik”.
Begitu besar pengaruh para perwira yang tergabung dalam free officersGamal Abdul Nasser pata ta, terutama Gamal Abdul Nasser, sehingga pada 23 Februari 1954 Jenderal Naguil diturunkan dan digantikan oleh Gamal Abdul Nasser. Pada tahun 1956 Mesir menyelenggarakan pemilihan presiden dengan Gamal Abdul Nasser sebagai calon tunggal. Selama masa Nasser berkuasa dan memimpi RCC, berbagai perubahan besar terjadi seperti membekukan parlemen, partai politik dan sistim monarki. Selain penanganan politik, RCC juga memberlakukan langkah-langkah ekonomi, seperti reformasi pertanian dan penarikan hak kepemilikan sektor privat, yang akan memaksa perubahan pada struktur sosial masyarakat Mesir. Dengan demikian hampir sekitar 15 tahun RCC berkuasa, mulai rentang waktu kudeta dan perang enam hari, militer telah menguasai seluruh aspek politik, dan ekonomi negara.
Pada tahun 1971 terjadi perang enam hari dengan Israel yang menyebabkan kekalahan Mesir. Kekalahan Mesir dalam perang tersebut telah menimbulkan kekurang percayaan terhadap kepemimpinan Nasser yang ditandai dengan munculnya gelombang protes besar-besaran pertama sejak kudeta tahun 1953. Menyakapi gelombang protes tersebut Nasser menanggapi dengan ”March 30 program” yang memastikan untuk tidak hanya membangun angkatan bersenta tetapi juga mengendalikan perwira militer.
Pada Mei 1971 terjadi ”Corrective Revolution” yang dipimpin oleh Anwar Sadat. Revolusi ini dianggap sebagai upaya penyelesaian kekurangan yang terjadi pada masa 19 tahun militer mengambil alih kekuasaan. Pada masa revolusi kedua itu, agenda utama adalah menurangi jumlah politisi senior militer yang memiliki kedekatan dengan Gamal Abdul Nasser. Pada era ini dianggap bahwa peran militer dalam politik internal sudah mulai menurun dan dibatasi untuk tetap pada koridor militer.

Implikasi dari keadaan tersebut, maka presiden Mesir sebagai aktor utama tidak diperdebatkan dalam kehidupan politik Mesir. Namun demikian, di kalangan para perwira militer senior tetap beranggapan bahwa pimpinan militer senior mempertahankan posisi yang berpengaruh dan menentukan dalam sistim politik domestik Mesir. Proses demiliterisasi di Mesir tidak berlangsung secara mulus disebab beberapa hal, antara lain ;
1) Terkait dengan perang enam hari, kehadiran tentara Israel di sebelah timur Terusan Suez, memberi pengertian bahwa militer masih memiliki posisi istimewa dalam politik domestik, karena militer sedang mempersiapkan perempuran yang menentukan dengan Israel. Sejumlah peralatan militer Mesir pada saat itu didatangkan dari Uni Sovyet, sehingga memerlukan bantuan pelatihan beserta pendukungnya.
2) Janji Gamal Abdul Nasser pada ”March 30 Program” dan ”Corrective Revolution” Anwar Sadat, keduanya mengatasnamakan reformasi politik. Namun demikian pada prinsipnya tetap mempertahankan pengaruh besar militer dalam sistim politik. Sesunggunya yang menjadi titik pusat kekuasaan pemerintahan tersebut adalah Presiden Mesir.
Pada saat Gamal Abdul Nasser meninggal dunia, Wakil Presiden Anwar Sadat menggantikan posisi Presiden. Selama kekuasaan nwar Sadat, prestise dan pengaruh militer berada pada posisi rendah. Presiden masih tetap membutuhkan militer untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, baik didalam maupun diluar tubuh militer. Bahkan pada bulan Januari 1977 saat terjadi ”Bread Riots”, para pemimpin militer menyetujui untuk ikut campur dan mengembalikan keadaan di seluruh negeri, sehingga menyelamatkan Anwar Sadat dari krisis politik yang fatal. Tetapi dalam posisi itu militer tetap tidak bertindak sampai sampai tuntutan mereka agar presiden mengambil langkah-langkah ekonomi untuk mensejahterakan rakyat. Dengan anggapan seperti ini menunjukan bahwa citra militer masih mewarnai kehidupan politik negara.
Air Marshal Husne Mubarack ditunjuk sebagai wakil Presiden pada bulan April 1975, saat Presiden Anwar Sadat berkuasa. Pada tahun 1981 Husni Mubarak diangkat menjadi presiden setelah terbunuhnya Anwar Sadat dalam suatu parade militer oleh personil militer garis keras yang tidak setuju dengan perjanjian damai Mesir-Israel. Selanjutnya Husni Mubarak terpilih secara berturut-turut selama empat periode tahun 1987, 1993, 1999, dan tahun 2005. Selama masa kekuasaan Husne Mubarack menjabat sebagai presiden, dibentuk satuan pengamanan internal sebagai antisipasi terbunuhnya Anwar Sadat oleh militan Islam fanatik dalam suatu parade militer. Disamping memperkuat sistem pengamanan dirinya, Husne Mubarack juga membuat sitem pemilu terbuka, namun hanya sebagai upaya memunculkan image bahwa Mesir adalah negara demokrasi. Di sisi lain Husne Mubarack memberlukan undang-undang darurat untuk menghadapi gerakan militan dan aksi penentangan terhadap pemerintah oleh lawan politiknya.
b. Pelajaran yang dapat diambil.
1) Militer Mesir sejak awal telah terlibat dalam kudeta dan revolusi untuk menjatuhkan kekuasaan Raja Farauk yang masih tunduk pada kekuasaan Inggris. ”Free Officers” pimpinan Gamal Abdul Nasser yang kemudian menjadi Presiden Mesir secara tegas menyatakan untuk merubah negerinya menjadi pemerintahan yang moderen.
2) Friksi dalam tubuh militer Mesir telah terjadi semasa Gamal Abdul Nasser, namun dapat diatasi dengan kompromi setelah pengangkatan Anwar Sadat sebagai Wakil Presiden. Hal ini menandakan bahwa pengangkatan pejabat strategis dalam militer dan pemerintahan Mesir masih sarat dengan pertimbangan kawan seperjuangan.
3) Perang enam hari dengan Israel yang menimbulkan kekalahan dipihak Mesir telah merubah kebijakan dasar hubungan dengan negara-negara barat, khususnya AS, baik dalam politik, ekonomi dan pertahanan. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi perlawanan dan kritik pihak oposisi dan kelompok militan terhadap sistim politik dan hubungan luar negerinya.
4) Terbunuhnya Presiden Anwar Sadat saat memimpin parade militer oleh prajurit simpatisan kelompok militan anti pemerintah dan berkuasanya Hosne Mubarrack telah melahirkan kebijakan baru dalam penataan sistim keamanan dengan pembentukan keamanan internal yang bertujuan untuk melindungi pribadi Presden dan sekaligus untuk menyingkirkan lawan politiknya baik dari kalangan militer maupun sipil.
5) Kontrol terhadap masyarakat sipil sangat ketat, demikian juga pengawasan terhadap media massa dikontrol oleh pemerintah. Mesir memiliki undang-undang darurat yang dapat membatasi kegiatan aktivis dan oposisi yang bertujuan menjatuhkan pemerintah. Walaupun proses demokrasi terjadi, namun ”check and balance” dalam pemerntahan tidak terjadi, karena besarnya pengaruh presiden yang didukung militer.
7. Hubungan Sipil-militer di Indonesia suatu perbangdingan.

a. Periode 1945-1949

1) Keterlibatan dalam Politik.

Pengalaman perang Gerilya oleh personil militer Indonesia ketika akan membentuk angkatan bersenjata menjelang kemerdekaan merupakan salah satu bentuk hubungan sipil militer yang ditandai dengan kontrol militer atas semua wilayah Republik. Pengalaman perang gerilya sangat berpengaruh selanjutnya dalam membentuk konsep hubungan sipil militer di kalangan para pemimpin militer Indonesia. Contoh penting dalam periode ini adalah keputusan Jenderal Soedirman untuk melakukan Perang Gerilya melawan Belanda justru pada saat pemerintahan sipil menyerah pada Belanda pada tahun 1948. Menarik untuk dicermati dalam hal ini adalah sikap Jenderal Soedirman yang tidak memiliki keinginan untuk melakukan pengambialihan kekuasaan terhadap Presiden Soekarno. Dengan gaya Jawa yang melekat erat dalam tradisi hidupnya, Jenderal Soedirman lebih memilih sebagai penyelamat negara dari penguasaan total tentara Belanda. Sikap loyal inilah yang menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia hingga saat ini.

Bila dihadapkan dengan pengalaman negara berkembang, khususnya keempat negara pembanding yang personil militernya dibentuk oleh kolonial Inggris, maka profesionalisme militer bentukan Inggris hanyalah dibungkus desiplin militer murni. Loyalitas militer pada diri mereka umumnya dibentuk untuk membela kepentingan negara dan bangsa. Namun, ketika berbicara masalah bangsa dan negara, mereka berhadapan dengan bangsanya sendiri dan negara penjajah, Inggris. Sebagai perwira militer yang dibentuk dengan manajemen kepemimpinan yang relatif baik dan rapi, ketika mereka berhadapan dengan kesempatan berkuasa, maka karakter asli, haus kekuasaan yang muncul dan dengan dalih menyelamatkan negara, maka kudeta dilanggengkan. Bukti haus kekuasaan ditunjukan oleh, rezim militer maupun junta militer yang berkuasa di Pakistan, Mesir, Myanmar dan Thailand saat ini.

Berbeda dengan di Indonesia yang para perwiranya sebagian besar dibentuk dari milisi untuk merebut kemerdekaan, seperti Jenderal Soedirman, Kolonel Soeprijadi dan lain-lain mantan tentara PETA bentukan Jepang. Demikian juga kelompok perjuangan seperti Hezbullah dan laskar keagamaan dan kedaerahan lainnya, para pemimpinnya sangat dipengaruhi oleh budaya Indonesia yang sedang mencari identitas dan jauh dari moderen. Dalam kondisi demikian, sikap kepemimpinan Jenderal Soedirman yang berani mengambil resiko untuk menyelamatkan negara dan bangsa hampir sama dengan para pemimpin militer di negara berkembang. Namun demikian, mereka tidak haus kekuasaan dan semangat perjuangan mereka untuk memperoleh kemerdekaan, murni didasari disiplin sebagai prajurit pejuang. Hal inilah yang membedakan militer Indonesia dengan pemimpin militer di negara berkembang pada awal kemerdekaannya.

b. Sebelum 1998

1) Keterlibatan dalam Politik.

Pada awal periode ini, peran militer dalam politik masih realtif sedikit, namun mulai menunjukan peningkatan seiring dengan adanya benturan-benturan dengan pemerintah dan keengganan melibatkan diri dalam politik dan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; Pertama, Konstitusi negara tahun 1950 berdasarkan demokrasi liberal Barat dimana supremasi sipil lebih mengemuka daripada militer. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Jenderal T.B. Simatupang, bahwa “ pada awal 1950-an, militer Indonesia sedang memfokuskan pada pembangunan keahlian dan kemampuan militer. Pendekatanitu didasarkan atas asumsi bahwa kelompok-kelompok politik akan melembagakan sistem-sistem politik,membangun masyarakat, ekonomi, dan budaya. Jika ‘percobaan” ini berhasil, maka situasi kita akan berbeda” Kedua, Militer sedang dalam proses modernisasi, reorganisasi dan rasionalisasi yang dipimpin oleh Nasution dan Simatupang. Ketiga, Meninggalnya Jenderal Soedirman pada Januari 1950, mengakibatkan hilangnya seorang pemersatu di kalangan militer yang heterogen, sehingga militer cenderung dapat dipengaruhi oleh sipil.

Dalam periode ini, kejadian yang menonjol adalah konflik antara sipil dan militer pada 17 oktober 1952, dimana militer meminta Presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen yang dinilai telah melecehkan presiden. Keadaan ini berlanjut, ketika Menhan Iwa Kusuma Sumantri memberi kebijakan yang melecehkan pihak militer, yaitu simpati terbuka kepada kelompok kiri yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Dan adanya kebijakan dimana menteri mempertahankan perbedaan atau kesenjangan antara kelompok pro dan anti gerakan 17 Oktober 1952. Akibat kebijakan Menhan itu, memberikan implikasi yang positif bagi militer untuk melakukan penguatan persatuan dan kesatuan serta kekompakan dikalangan militer itu sendiri agar tidak mudah diintervensi pihak sipil. Proses ini mencapai puncaknya ketika diadakan pertemuan/konsolidasi militer di Jogyakarta yang dihadiri lebih dari 250 perwira pada 17 Pebruari 1955 setelah ditunjuknya kembali Jenderal A.H. Nasution sebagai KSAD.

Pada 12 November 1958, KSAD Jenderal A.H. Nasution, mengumumkan prinsip-prinsip “Jalan Tengah” yang membuat jelas posisi militer di tengah-tengah masyarakat, yaitu “... bukan sebagai ‘alat sipil’ seperti di negara-negara Barat, atau ‘rejim militer’ yang mendominasi negara, tetapi merupakan satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat (kekuatan perjuangan rakyat yang bekerjasama dengan kekuatan rakyat lainnya)”. Peristiwa ini dapat dianggap sebagai langkah awal militer masuk dalam politik secara modern, terorganisasi, terencana, bertahap dan legal. Perkembangan selanjutnya militer mulai membuat strategi untuk meghadapi pengaruh kuat Partai Komunis Indonesia. Media massa seperti harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan lain-lain adalah alat untuk perang propaganda. Berdirinya Sekretariat Golongan Karya yang kemudian berkembang menjadi Partai Golongan Karya (Golkar) menjadi kendaran politik militer di era Orde Baru.

Menjelang meletusnya G30S/PKI peran dan keterlibatan militer dalam perpolitikan di dalam negeri semakin tajam, dalam rangka untuk membendung pengaruh komunisme yang terus berkembang. Dalam masa perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, Indonesia yang merupakan negara Non-Blok, telah berada pada posisi cenderung ke timur (komunis). Sementara itu pimpinan militer yang nasionalis cenderung mendekat ke barat dan puncaknya adalah kudeta gagal oleh PKI dengan gerakan G30S/PKI-nya telah menghantarkan Jenderal Soeharto pada posisi kekuasaan, akibat ketiadaberdayaan Presiden Sukarno saat itu. Terlepas dari pro dan kontra penyerahan kekuasaan yang dilakukan Presiden Sukarno saat itu kepada Jenderal Soeharto, kenyataannya dibawah kendali dan kepemimpinannya negara telah diselamatkan dari ancaman perang saudara.

Perkembangan Indonesia sejak tahun 1966 hingga tahun 1998 sangat menarik untuk disimak. Pada awal pemerintahan Presiden Soeharto, porsi menteri yang diduduki oleh militer hampir 75 persen, namun terus berkurang hingga kurang dari 15 persen pada tahun 1998.

Demikian juga jabatan di pemerintahan daerah dan instansi pemerintahan serta parlemen juga mengalami pengurangan secara gradual. Kiranya tepat apa yang dikatakan Presiden Soeharto saat itu tentang ”membaca tanda-tanda jaman” untuk mengurangi para pemimpin militer duduk dalam instistusi sipil. Selama masa ini pemerintahan Presiden Soeharto berhasil membawa Indonesia pada masa yang stabil dalam berbagai aspek kehidupan, dan dihargai oleh negara tetangga disekitar dan bahkan di dunia. TNI mendapatkan porsi yang ideal dalam berbagai posisi jabatan di berbagai instansi, sebab kehadiran personil militer dianggap sebagai dinamisator dalam pembangunan. Indonesia telah lama memasuki alam demokrasi yang disesuaikan dengan alam dan masyarakat Indonesia, militer memang seharusnya mulai pada posisi yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi di Asia, telah membawa krisis berkepanjangan di Indonesia yang mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto menurun.

Melihat kondisi yang semakin memburuk dan kerusuhan dimana-mana, sekali lagi kemampuan Presidewn Suharto dalam ”membaca tanda-tanda jaman” teruji, dengan mundurnya beliau dari kursi kekuasaan. Berbeda jika Presiden Soeharto haus kekuasaan dan menggunakan militer untuk menyapu bersih aktivis pro reformasi. Dari pengalaman pada masa akhir kekuasaan Presiden Soeharto, aspek politik penting yang sangat dapat diambil yaitu tidak adanya tradisi melanggengkan kekuasaan pada diri prajurit TNI. Tidak sulit bagi Presiden Soeharto saat itu untuk memerintahkan Perwira TNI yang sebagian besar loyal padanya, atau para perwira TNI yang ingin mengambil alih kekuasaan untuk meredam aksi aktifis pro reformasi saat itu. Lagi-lagi para pemimpin TNI membuktikan dirinya untuk tidak melanggar tradisi dan doktrin untuk tidak membudayakan kudeta, sebab kudeta yang satu akan disusul oleh kudeta yang lain.

Berbeda dengan negara berkembang lainnya dimana pemerintahan militer cenderung memupuk kekuasaan dengan sesama kerabat militer lainnya. Seperti halnya di Mesir dan Myanmar kekuasaan dibagi diantara perwira militer dibawah kendali Husne Mubarack dan Jenderal Senior Than Shwe, ada kecenderungan dengan porsi yang semakin meningkat, guna memperkuat posisi pimpinan rezim yang cenderung menurun. Berbeda dengan di Thailand dimana budaya kudeta telah menjadi jalan pintas militer untuk meraih kekuasaan dan dilindungi oleh konstitusi. Dalih penyelamatan negara menjadi jurus utama yang menghantar para pemimpin militer pada posisi kekuasaan, jika proses pengambilalihan kekuasaan tersebut berjalan secara mulus tanpa gejolak besar. Sementara itu di Pakistan dan Bangladesh hampir sama, dimana militer bermain dengan kekuasaan seperti permainan politik pada umumnya, penuh dengan perhitungan dan strategi dalam memanfaatkan situasi keamanan dalam negeri dan kondisi sosial masyarakatnya yang miskin dan sektarian. Namun militer Bangladesh leih dapat menahan diri.

c. Periode setelah 1998.

1) Keterlibatan dalam Politik.

Persoalan menuntut mundur peran sosial politik TNI semakin keras terutama setelah adanya krisis ekonomi di Asia Tenggara dan krisis multidimensi di Indonesia pada tahun 1997. Krisis ini memberikan efek yang luar biasa dan berkepanjangan bagi kehidupan masyarakat. Tuduhan masyarakat tentang surutnya kehidupan demokrasi dan gerakan demokratisasi, terpuruknya kehidupan politik, suburnya KKN dan diskriminasi penegakan hukum mengemuka, karena intervensi militer dalam kehidupan sosial politik yang dianggap berlebihan pada masa Presiden Soeharto. Bahkan militer dianggap turut bertanggung jawab atas terjadinya krisis multidimensi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997. Tuntutan reformasi yang memasukkan pencabutan agenda Dwifungsi ABRI merupakan pembuka jalan pertama keluarnya militer dari gelanggang politik nasional. Tuntutan reformasi adalah agar ABRI kembali pada tugas dan fungsinya yang utama yaitu sebagai pertahanan negara.

Secara umum gugatan terhadap Doktrin Dwifungsi dapat dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan eksistensi ABRI secara umum. Namun karena sikap moderat para pimpinan ABRI dan juga kalangan militer menyadari resistensi masyarakat begitu tinggi, sehingga desakan masyarakat agar militer menarik diri dari politik menjadi pertimbangan serius, maka ABRI mendukung terhadap reformasi nasional 21 Mei 1998 yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto. Selang beberapa saat setelah Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Habibie, Menhankam-Pangab Jenderal Wiranto menyatakan dukungannya terhadap proses peralihan kekuasaan sebagai sikap ABRI untuk mengamankan perubahan kekuasaan politik. Tanpa dukungan ABRI pada saat itu, tampaknya akan sulit bagi Habibie mendapatkan mandat menggantikan Soeharto menjadi Presiden.

Peristiwa tersebut merupakan batu pijak perubahan fundamental terhadap peran sosial politik ABRI selanjutnya dan juga mengindikasikan bahwa militer siap beradaptasi dengan aspirasi publik yang menghendaki kehidupan politik secara lebih demokratis. Sebenarnya dalam situasi seperti ini, ABRI bisa saja bertindak represif dan dapat mengambil alih kekuasaan politik kembali. Dibanding dengan tindakan yang dilakukan oleh militer beberapa negara diatas, maka patut dihargai sikap dewasa dan terukur yang dimiliki oleh para pimpinan ABRI ketika memberikan reaksi terhadap terjadinya gejolak sosial. Pertimbangan yang lebih besar demi kepentingan negara dan menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dalam masyarakat sipil menjadi pijakan utama.

Jika kembali kepada sejarah pendirian Republik, ketika Presiden menyerah (diasingkan), justru Panglima Besar Sudirman tetap bergerilya untuk menegakkan eksistensi Republik dan tidak berusaha untuk mengambil alih kepemimpinan nasional. Nilai moral ini sangat melekat dan menjadi tauladan bagi para perwira ABRI. Artinya bahwa secara historis militer Indonesia tidak akan melakukan kudeta bahkan ketika kesempatan ada untuk itu.

Pada bulan April 2000 dilakukan Apel Komandan, yang menghasilkan kebijakan TNI untuk melepaskan diri dari politik. Beberapa kebijakan dan keputusan TNI yang dihasilkan diantaranya; Pertama, Menindaklanjuti keputusan ABRI untuk bertugas dan berfungsi sesuai bidang utamanya, maka pada 1 April 1999 dilakukan pemisahan tugas TNI dan Polri yang kemudian ditegaskan melalui TAP MPR No. VII /MPR/2000 tahun 2000 tentang Peran TNI/Polri. Kedua, Pada tanggal itu juga agenda reformasi internal ABRI diterbitkan seperti pemutusan hubungan dengan Golongan Karya, netralitas dalam pelaksanaan Pemilu, penghapusan lembaga kekaryaan ABRI, serta larangan perwira aktif menduduki jabatan sipil. Ketiga, Hasil sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1999 menghasilkan ketetapan MPR menghapuskan wakil-wakil ABRI di DPR mulai hasil Pemilu 1999. Namun demikian, kalangan militer beranggapan bahwa ABRI tetap perlu di MPR sebagai sarana menyampaikan aspirasi. Dari sidang keputusan MPR ditetapkan keberadaan fraksi ABRI di MPR hingga 2009. Dan ketiga, 5 tahun selanjutnya disahkan UU No.34 tentang TNI. Dengan keberadaan UU ini sudah cukup jelas bagaimana tugas dan fungsi TNI sebagai salah satu komponen bangsa. Dalam UU ini ada penegasan bahwa TNI tidak menjadi sebuah kekuatan sosial politik seperti pada masa orde baru sebelumnya.

Dengan adanya beberapa Keputusan, Kebijakan dan UU yang berkenaan dengan hubungan sipil-militer di Indonesia, maka semakin jelas terlihat bahwa TNI memiliki visi yang jelas dalam mengantarkan negara ke dalam proses demokrasi yang sehat. Walaupun harus diakui, bahwa dari implikasi peran sospol TNI pada masa lalu berakibat kepemimpinan sipil masih belum percaya diri dalam mengelola urusan kenegaraan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan militer. Maka dari itu apabila dikaitkan dengan identitas professional, maka TNI saat ini sudah profesional karena tidak lagi terlibat politik. Beberapa identitas lainnya adalah keberhasilan tugas, kepatuhan pada atasan, disiplin, pengembangan diri, dan mahir menggunakan persenjataan yang menjadi bidang tugasnya. Hanya dalam hal ini untuk professional TNI perlu mendapat dukungan sipil atas dua hal yaitu alokasi anggaran militer yang memadai dan kewenangan yang diberikan bagi militer untuk mengatur urusannya.

Terkait dengan kewenangan dalam mengurus lingkup tugas militer, perlu ada kebijakan tegas yang memungkinkan militer independen, antara lain; Pertama, tidak ada campur tangan politisi dalam urusan pengangkatan personil militer dari tingkat terendah hingga pucuk pimpinan tertinggi. Saat ini politisi sipil masih mencoba-coba masuk ranah keramat TNI yaitu penentuan jabatan panglima TNI, yang sesuai UUD harus mendapat persetujuan parlemen. Berdasarkan pengalaman awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah diuji dengan kasus penunjukan Kasad Jenderal Ryamrizad Ryacudu sebagai Panglima TNI oleh Presiden Magawati Sukarnoputri. Hal ini tidak boleh terulang dikemudian hari, sebab ada peluang bagi pimpinan TNI untuk melakukan upaya kudeta, jika kasus serupa terulang kembali. Berikan mekanisme internal TNI untuk menentukan sendiri pemimpinnya berdasarkan kapabilitas dan Presiden serta parlemen hanya mengamini saja.
Kedua, Terhadap pilar-pilar penopang persatuan dan kesatuan bangsa seperti Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bagi TNI sudah final, akan menjadi pertaruhan TNI jika ada pihak-pihak lain yang mencoba untuk mengubahnya, ”setidaknya itulah harapan kita semua”. Bila hal ini terjadi, jangan disalahkan jika TNI akan melakukan langkah-langkah ”penyelamatan”, kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sebab inilah doktrin dan harga mati bagi prajurit TNI dan melekat hingga akhir hayatnya. Sebagian besar perwira TNI yang multi etnis sadar, bahwa merubah pilar tersebut, maka akan merubah orientasi hidup mereka. Hal ini berarti berubah pula orientasi pengabdian dan loyalitas mereka.

Ketiga, Peran sipil dalam penanggulangan bencana masih lemah, maka hal itu merupakan salah satu celah bagi masuknya peran militer untuk mengendalikan jalannya pemerintahan dalam kondisi darurat. Di sinilah pentingnya arti supremasi sipil atas militer. Dalam kenyataannya, masih banyak pihak sipil yang takut-takut untuk mengendalikan militer, karena kurang percaya diri, kurang pengetahuan masalah komando, dan pertahanan secara umum. Secara konstitusional hal itu merupakan tugas operasi militer selain perang. Oleh karena itu para pemimpin sipil Indonesia harus benar-benar siap dalam mengatur jalannya pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa sipil saat ini masih belum percaya diri tampil, terutama dalam mengendalikan pengelolaan pertahanan.

Saat ini masih ada partai yang mengajak para mantan pemimpin militer untuk ikut dalam pemilihan presiden sebagai figur yang kuat untuk memimpin negara atau daerah. Contoh kasus, jika TNI tidak menghargai proses demokrasi maka pada saat Timor lepas sebagai akibat kebijakan negara (Presiden Habibie pada masa itu) maka bisa saja TNI melakukan jalan pintas. Pada saat itu, TNI loyal dengan keputusan pemerintah sebagai wujud supremasi sipil atas militer. Bandingkan hal tersebut manakala terjadi dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dan TNI pada saat itu. Hal seperti ini yang harus dipertimbangkan oleh para pemimpin sipil jika perasaan nasional terhadap keutuhan negara kurang, maka pihak militer yang merasa lebih memiliki jiwa dan semangat nasionalisme akan dapat mengambil alih kekuasaan. Karena dimanapun di dunia, militer memiliki karakter/rasa yang kuat sebagai penyelamat negara dan bangsa.

Dalam kondisi yang sedemikian rumit situai yang dialami oleh TNI, para pemimpin TNI sadar bahwa pengambilalihan kekuasaan akan berakibat fatal bagi kelangsungan negara Indonesia dan mungkin juga bagi kepemimpinan TNI saat itu. Hal mana akan berbeda jika situasi tersebut dialami oleh militer di negara Bangladesh, Pakistan Mesir, Myanmar dan Thailand. Dalam kondisi kritis yang dihadapi bangsa tersebut, para pemimpian militer di negara tersebut tampil dan mengklaim diri sebagai penyelamat bangsa dan negaranya dengan melakukan kudeta merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil.
Pada umumnya setelah melakukan kudeta, para pemimpin militer ”lupa” mengembalikan kekuasaan tersebut kepada otoritas sipil dan cenderung terus memperkuat jaringan kekuasaan untuk selama mungkin. Kekuasaan Jenderal Pervez Mushyaraf di Pakistan sebagai presiden, akan berupaya terus bertahan ketika diadakan pemilu, sebab ada kewenangan merubah konstitusi yang dirancang untuk melanggengkan kekuasaannya.

Demikian juga di Mesir dan Myanmar, kejadian serupa terjadi, namun dalam intensitas yang berbeda. Kudeta di Bangladesh terjadi, beberapa kali, namun perkembangan selanjutnya militer relatif memberi ruang kepada sipil untuk melaksanakan otoritas pemerintahan setelah memenangkan pemilu. Konsesi tertentu yang harus diberikan otoritas sipil kepada militer agar tidak merengsek masuk dalam kekuasaan otoritas sipil. Sementara itu budaya kudeta di Thailand oleh militer beberapa waktu lalu, mungkin salah satu bagian episode dalam sejarah perjalanan demokrasi di Thailand hingga entah sampai kapan. Tersirat ketidakpuasan pimpinan militer menghadapi perkembangan pemerintahan otoritas sipil yang diharapkan mampu membawa kemajuan pada negara dan bangsanya.

Klaim penyelamatan yang dilakukan pemimpin militer dan upaya pembentukan pemerintahan baru dengan merubah konstitusi telah menjadi alur pembenaran akan tindakan kudeta di negeri itu. Namun demikian, bukan tanpa kepentingan, beberapa pemimpin militer telah ikut serta dalam ”sharing” kekuasaan dengan kepala pemerintahan baru yang terbentuk. Dari pengalaman kudeta yang dilakukan militer di negara-negara tesebut, nampak bahwa latar belakang kudeta tiada lain adalah sikap haus kekuasaan oleh para pemimpin militer. Dalam perjalanan kekuasaan oleh junta militer, maka kecenderungan terjadinya korupsi sangat besar, sebab kekuasaan junta militer di negara tersebut relatif cukup lama.

Pada masa reformasi, ada beberapa peluang yang dimiliki pimpinan TNI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia, namun hal ini tidak dilakukan. Berbeda halnya dengan kasus serupa di negara-negara berkembang, seperti empat negara pembanding diatas. Kasus kudeta di Pakistan, Myanmar dan Thailand dilakukan oleh pimpinan militer tertinggi, berbeda dengan kasus di Mesir yang dilakukan oleh Letkol Gamal Abdul Nasser. Di Indonesia saat kudeta oleh G30S/PKI sayap militer dipimpin oleh Letkol Untung. Dilihat dari penggerak pelaku kudeta, diketahui bahwa baik yang dilakukan oleh pimpinan militer tertinggi, maupun oleh perwira menengah memiliki kesamaan. Secara finansial mereka belum mapan. Sangat mungkin ketidakmapanan finasial ini merupaka pendorong kuat keinginan kudeta, selain ketidak sabaran melihat elit sipil yang tidak becus mengurus negara dan haus kekuasaan para pemimpin militernya. Bila dikaitkan dengan kejadian saat reformasi, dimana beberapa perwira TNI baik Jenderal TNI Wiranto selaku Panglima TNI dan Menhan, maupun Letjen TNI Subyanto Prabowo selaku Panglima Kostrad yang keduanya memiliki peluang untuk mengambil alih kekuasaan negara saat itu, namun tidak ”berani” melakukannya. Pertanyaannya, kenapa kedua Perwira tersebut tidak melakukannya ? Bila melihat kudeta yang terjadi di negara berkembang diatas dan kasus G30S/PKI, maka jawabannya sangat mungkin sebagian besar perwira TNI saat reformasi secara finansial sudah sangat mapan. Kiranya akan berfikir panjang bagi mereka untuk mengambil alih kekuasaan yang penuh resiko, bukan saja terhadap dirinya juga keluarganya. Hal ini dibenarkan oleh keterlibatan kedua perwira tersebut dalam konvensi partai Golkar hingga menjadi kandidat pemilu tahun 2004. Hal ini juga menandakan bahwa ada haus kekuasaan dalam diri perwira TNI, yang memang dibentuk sebagai pemimpin militer dan kader pemimpin untuk bangsanya.

Pertanyaan besar yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sikap dan prilaku perwira TNI di masa depan, mengingat peluang mereka untuk memperkaya diri seperti seniornya sangat kecil? Bahkan mereka masuk menjadi prajurit TNI saat itu, sarat dengan bayang-bayang keberhasilan perwira TNI dalam menduduki pos menteri, gubernur, bupati di masa lalu? Bila dilihat kader pimpinan TNI berdasakan masa rekrutmen perwira TNI dapat dilihat kemungkinan kekhawatiran terjadinya kudeta dapat dikelompokkan sebagai beriku ; Pertama, perwira TNI tamatan hingga tahun 1980 akan habis masa dinasnya pada tahun 2014. Dengan kata lain hingga tahun 2014 dapat dipastikan tidak akan ada kudeta, sebab pada umumnya mereka sudah mapan dan pada masa itu sebagian besar dari mereka akan menjadi perwira tinggi, sebab jumlah mereka rata-rata kurang dari seratus orang, belum termasuk yang meninggal dan gagal dalam tugas.

Kedua, adalah perwira TNI tamatan tahun 1981 hingga 1990. Secara finansial para perwira alumnus periode tersebut, realtif tidak mendapatkan keuntungan dari jabatan-jabatan strategis yang pernah didudukinya seperti Dandim, Danrem, Danbrig dan lain-lain. Mereka pada umumnya menjabat posisi tersebut paska reformasi, hal mana peluang untuk mencari dana di luar satuan dan dana program sekalipun relatif sulit. Dikaitkan dengan kesempatan mereka untuk memimpin jajaran TNI pada periode tahun 2015-2024, dan kondisi yang akan dihadapi bangsa saat itu masih dalam masa transisi untuk menjadi bangsa maju, maka para perwira ini memiliki peluang melakukan kudeta, walaupun kecil kemungkinannya. Hal ini disebabkan oleh tidak ada kepastian akan masa depan mereka, khususnya dari aspek finansial, dan mereka masuk menjadi TNI sudah dibayang-bayangi keberhasilan perwira senior TNI menduduki posisi penting di pemerintahan pada periode sebelum reformasi.

Ketiga, adalam perwira alumnus tahun 1991 hingga 2000 dan mereka akan menjadi pemimpin TNI pada periode tahun 2025-2035. Jika pada masa itu pembangunan berhasil dan pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, maka dipastikan hingga masa itu kemampuan finansial negara untuk mendukung anggaran pertahanan hanya sampai memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak. Artinya adalah mereka tidak memiliki sama sekali kepastian akan jaminan finansial untuk masa depannya. Mereka adalah alumnus perwira yang berasal dari sumber lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang disiapkan oleh TNI melalui SMA Taruna Nusantara (TN), dan dikenal memiliki kecerdasan yang tinggi jauh dibandingkan para seniornya. Justru merekalah inilah yang memiliki peluang besar akan melakukan kudeta di masa mendatang, sebab mereka juga telah terbayang-banyangi oleh keberhasilan perwira TNI dalam menduduki posisi penting di jabatan pemerintahan pada masa sebelum reformasi.

8. Pelajaran yang dapat diambil

a. Dari beberapa kejadian intervensi militer di beberapa negara, faktor yang mempengaruhi intervensi militer dalam politik disebabkan oleh beberapa hal yaitu; Pertama, Kepentingan Organisasi militer. Merupakan kekuatan yang memelihara pandangan militer sebagai satu kesatuan, eksklusif dan homogen. Kepentingan akan mendarah daging jika ada kepentingan bersama dari organisasi militer tersebut. Kepentingan tersebut ada dua yaitu substantif dan assosiatif. Substantif manakala hal tersebut berkait langsung dengan isu kritis seperti otonomi, kohesi, dan kelanjutan institusi. Sedangkan assosiatif berkait secara tidak langsung.

Kedua, Profesionalisme. Menurut Huntington profesionalisme dapat mencegah militer ikut campur tangan dalam urusan politik. Namun jika melihat fakta yang ada, seperti pada masa fasisme Jepang dan Jerman pada PD II, profesionalisme militer juga turut campur dalam kebijakan politik. Namun hal itu ditafsirkan bahwa intervensi dilakukan karena ancaman terhadap negara. Bahkan jika melihat operasi militer AS di dunia, sangat mungkin juga bahwa profesionalisme militer telah ikut campur dalam urusan politik luar negeri, dan juga mungkin politik dalam negeri terkait dengan ancaman terhadap negara. Penggunaan kekuatan militer sebagai jalan terakhir, jika proses politik mandek.

Ketiga, Disposisi militer untuk turut campur. Intervensi militer dalam politik sangat ditentukan oleh kultur dan sikap organisasi militer dibandingkan institusi sosial dan politik. Jika institusi sosial dan politik lemah maka hal itu dapat memicu terjadinya kudeta, maka dari itu pada umumnya sebuah kudeta bersifat reaktif. Reaktif karena hal tersebut dipicu oleh hilangnya legitimasi pemerintahan yang berkuasa, sehingga menimbulkan kekacauan sosial. Situasi politik yang tidak stabil akibat rezim yang tidak absah juga akan memicu terjadinya kudeta berulang, seperti di Thailand.

Keempat, Pengaruh internasional (transfer senjata, latihan militer, perjanjian keamanan, hubungan luar negeri dan kerjasama militer antar negara). Contoh keadaan ini seperti terjadi di Pakistan, dimana secara eksternal mereka mendapat iklim yang kondusif untuk melakukan kudeta dan mendapat legitimasi karena hal itu sesuai dengan kepentingan negara aliansi (AS). Yang pertama pada saat perang Afghanistan, dan yang kedua aliansi perang terhadap teror yang dipimpin AS. Nampaknya jika kepentingan AS telah selesai, bukan tidak mungkin situasi yang tidak pro demokrasi ini juga akan mendapat tekanan. Pengaruh internasional pada prinsipnya bukan menjadi sebab terjadinya kudeta, tetapi hal itu bisa menjadi sebuah promosi, seperti AS dan Eropa Barat mempromosikan demokrasi untuk melawan rezim militer.

b. Kudeta tidak menyelesaikan permasalahan seperti yang sering terjadi di berbagai negara, dan bahkan lebih buruk akan terjerumus korupsi dan seterusnya. Ketika rejim militer berkuasa secara mutlak dan lama, maka lambat laun sifat-sifat negatif kekuasaan mulai muncul. Manakala ada perlawanan maka akan ditindak secara represif. Sejauh ini terlihat bahwa proses demokrasi Indonesia yang didukung oleh TNI memberikan pelajaran berharga. Niat baik dan kemauan politik merupakan syarat utama untuk membentuk tatanan negara yang demokratis. Namun demikian, pemahaman demokrasi di satu negara akan berbeda dengan demokrasi di negara lain. Jika dibandingkan dengan Thailand, Pakistan dan Myanmar, maka proses demokrasi di Indonesia yang sedang berjalan dan didukung oleh militer (TNI) saat ini jauh lebih maju. Beberapa faktor yang mendukung diantaranya jati diri TNI yang terbentuk melalui Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 11 Asas Kepemimpinan TNI, 8 wajib TNI, serta Kode Etik Perwira tanpa disadari membentuk karakter militer yang terbuka dan positif dalam menanggapi perubahan tuntutan jaman namun tetap memperhatikan akar budaya asal.

c. Kondisi di Indonesia saat ini masih belum kondusif untuk menempatkan TNI dan sipil dalam tempat yang sama, terlebih menggunakan istilah ”civilian supremacy upon the military”. Sejak berdirinya negara Indonesia, TNI yang memiliki cikal bakal dari berbagai kelompok perjuangan tersebut telah mengabdikan dirinya sebagai penyelamat negara dan bangsa ini. Tampilnya TNI sebagai penyokong dan sekaligus penasehat, perwakilan dan pelaksana dalam pembangunan negara khususnya kehidupan demokrasi sebagai mana dijelaskan oleh Samuel Huntington tidak terhindarkan. Hal mana terjadi di negara maju sekalipun, terutama pada masa awal dan transisi negara tersebut menuju demokrasi. Beruntung karena Indonesia telah keluar dari masa transisi tersebut, dan saat ini Indonesia akan menapak menuju Indonesia baru yang demokratis dan moderen. Namun demikian, apakah ada jaminan perkembangan saat ini dan kemungkinannya kedepan, sebagaimana telah terkonsepkan dalam ”Visi Indonesia 2030” oleh Indonesia Forum Foundation akan mulus sesuai sasarannya? Jawabannya sudah pasti tidak akan ada pihak yang bisa memberi jaminan sepenuhnya. Banyak faktor yang berpengaruh dan banyak hambatan yang akan dihadapi baik eksternal maupun internal.

Sesuai bahan kajian dan berdasarkan pengalaman dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ternyata peran militer sangat dominan. Berdasarkan bahasan diatas, untuk menselaraskan peran militer dan sipil dalam kehidupan demokrasi kedepan, maka dapat dilihat dari beberapa sudut pandang sebagai berikut ; Pertama, Dikotomi Sipil-Militer. Masalah dikotomi sipil militer selalu muncul menjelang pemilu di Indonesia, khususnya paska reformasi. Sebagian kalangan menggunakan istilah ”pokoknya asal bukan militer” untuk mengusung calon yang akan dijagokan untuk jabatan tertentu. Namun sebagian lagi dengan ”malu-malu” menampik adanya dikotomi sipil-militer dalam pemilu dengan jurus ”sipil-militer sama saja”. Dari pengalaman selama ini dan kenyataannya pemenang pemilu tahun 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono, maka kedepan hal serupa masih memungkinkan akan terulang. Demikian juga saat pilkada DKI, ”dipinangnya” Mayjen TNI Priyanto sebagai calon wakil gubernur oleh Fauzi Bowo, menandakan bahwa sipil masih belum percaya diri tampil dalam panggung bursa kepemimpinan baik tingkat nasional maupun daerah. Mencermati fenomena ini, akan sangat kondusif jika persoalan dikotomi sipil-militer tidak perlu selalu diusung dalam menjaring calon pemimpin bangsa. Siapapun yang mampu dan dipercaya oleh rakyat diberi kesempatan yang sama, bukan sebaliknya dibuat wacana dikotomi sipil-militer untuk mengganjal calon lainnya. Perundang-undangan mengatur tegas bagi personil TNI yang ingin mencalonkan diri dalam pemilu atau pilkada harus mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Dengan kata lain, bisa memeinta hak untuk dipilih setelah menjadi masyarakat sipil biasa.

Kedua, Mewaspadai friksi masa depan. Sampai periode tahun 2014 kecil kemungkinannya akan terjadi gejolak politik yang mengarah pada persaingan elit militer dan sipil untuk memperebutkan pucuk kepemimpinan nasional. Sesuai konstitusi, tidak memungkinkan munculnya perwira TNI aktif untuk tampil sebagai calon dalam bursa pemimpin nasional. Hal mana berarti bahwa friksi antara sipil-militer dalam bursa memperebutkan pucuk kepemimpinan nasional dapat dihindari. Namun perlu diwaspadai paska kepemimpinan nasional 2014, sebab pimpinan TNI saat itu akan berasal dari generasi lulusan perwira tahun 1981-1990. Para perwira ini adalah prajurit terlatih dan memiliki pengalaman operasi cukup banyak di Timor Timur, Aceh, Papua, konflik Poso, Ambon dan Kalimantan. Mereka adalah perwira yang ”merasa” kecewa dengan keputusan pimpinan nasional saat dipegang sipil dengan keputusan kontroversial yang berakibat lepasnya Timor Timur. Disamping itu perwira ini yang berada pada lini terdepan berhadapan dengan pejuang reformasi, namun mereka tidak memiliki ikatan emosional yang cukup baik dengan tokoh-tokoh sipil semasanya. Kilas balik kejadian ini, di masa depan saat para perwira ini memimpin TNI akan mendorong insting haus kekuasaan yang ada pada dirinya, bila elit sipil tidak tampil percaya diri dalam mengatasi permasalah bangsa. Ancaman masa depan seperti gerakan separatisme Papua, Aceh dan daerah lain masih akan menjadi agenda politik pemerintah untuk penanganan di masa yang akan datang. Berbeda dengan lepasnya Timor Timur, namun ancaman lepasnya provinsi lain akan menjadi pertaruhan terakhir para perwira TNI pada generasi kepemimpinan saat ini dan hingga tahun 2035.

Ketiga, Mempersiapkan kader pemimpin bangsa masa depan. Selama ini konsep pemikiran untuk membentuk kader pemimpin masa depan yang memiliki konsep pemikiran satu, yaitu negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sepertinya masih belum banyak. Sistem perkuliahan di perguruan tinggi yang mengacu pada materi bahan ajaran kewiraan hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan pro dan kontra dan bahkan dibeberapa lembaga pendidikan hal ini ditiadakan. Sulit bagi bangsa ini untuk menyukseskan agenda pembangunan nasional kedepan jika kader-kader pemimpinnya tidak memiliki visi dan misi yang sama. Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di masa lalu terbukti hingga kini mampu menghasilkan kader pemimpin yang memiliki satu visi dan misi tersebut. Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) juga mencoba mekanisme dan konsep yang diterapkan di AKABRI, namun lembaga pendidikan tersebut gagal menghasilkan pemimpin daerah yang berkarakter pengayom masyarakat, hal ini ditandai terjadinya berbagai tindak kekerasan di dalam kampus mereka.

Sekolah Menengah Atas Taman Nusantara (SMATN) mungkin salah satu lembaga pendidikan menengah yang hingga saat ini cukup berhasil mencetak kader pemimpin dari tingkat awal dengan baik, hal ini ditandai dengan hasil nilai kelulusan mereka dalam ujian nasional jauh diatas rata-rata lulusan sekolah menengah yang ada di tanah air. Namun mengingat jumlahnya hanya satu dan tiap angkatan dalam tahun terakhir hanya mampu menampung sekitar 300 orang, maka volumenya terlalu sedikit bagi Indonesia yang berpenduduk lebih dari 210 juta jiwa. Setidaknya dibutuhkan tiga lagi SMA TN di Indonesia untuk mencetak kader pemimpin masa depan yang sejak dini sudah diberi pemahaman yang sama tentang visi dan misi tersebut. Tidak terlalu sulit untuk menggagas rencana ini, dengan melibatkan departemen lain dan Gubernur selaku kepala daerah yang memiliki keterkaitan langsung dengan upaya untuk menjaga keutuhan NKRI, sebagaimana diamanahkan oleh Otonomi Daerah.

Keempat, Revolution in Military Affairs (RMA). Dalam perkembangan TNI hingga saat ini belum pernah mengalami RMA yang menjadi cerminan peningkatan profesionalisme prajurit secara keseluruhan melalui penguasaan teknologi militer baik persenjataan maupun teknologi informasi secara utuh, terbentuknya organisasi dan doktrin militer moderen. Pencapaian pada tingkat profesionalisme militer akan memberikan ruang seluas-luasnya bagi militer untuk menggali potensi pengembangan diri dalam meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Dalam pelaksanaannya RMA sulit diterapkan di Indonesia yang memiliki sejarah dan latar belakang budaya, serta kepentingan nasional. Namun demikian, RMA dalam rangka meningkatkan profesionalisme militer dalam masalah pertahanan harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi riil bangsa dan negara saat ini dan ke depan.

Penerapan RMA di Indonesia dapat dtempuh dengan beberapa penekanan antara lain; Pertama, melibatkan institusi sipil yang memiliki kapabilitas di bidang teknologi militer baik persenjataan maupun informasi. Selama ini peran institusi sipil dalam mendorong perkembangan teknologi milter di Indonesia diambil alih oleh “broker” dalam bentuk pengadaan langsung persenjataan militer tanpa melalui proses alih teknologi. Dengan pelibatan institusi sipil setidak ada dua sisi yang tercapai yaitu terciptanya hubungan sipil dan militer yang baik dan memberi ruang terjadinya transparansi. Dismping itu TNI mampu melakukan alih teknologi, walaupun dalam skala terendah sekalipun. Kedua, seiring dengan proses kemajuan yang dicapai bangsa ini, kedepan, RMA perlu disiapkan secara evolusi, mengingat keterbatasan finansial dan dukungan ekonomi yang ada saat ini. Evolusi RMA perlu didorong sesegera mungkin mengingat negara di kawasan telah mengambil ancang-ancang serupa dan cenderung labih cepat menuju ke RMA. Bila Indonesia terlambat mengantisipasi dampak kerugian yang akan ditimbulkannya terlalu mahal, bahkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Ketiga, Perlu melakukan lompatan teknologi dalam rangka memepercepat penguasaan sistem dan teknologi persenjataan militer, khususnya teknologi informasi, terhadap satuan strategis yang memiliki akses langsung terhadap ancaman dari luar.

Kelima, Wajib Militer. Pelaksanaan wajib militer di Indonesia sesuai dengan konstitusi dan kondisi yang dihadapi bangsa saat ini. Di satu sisi pelaksanaan wajib militer akan mampu menggandakan kekuatan Komponen Utama saat perang dan disisi lain dapat menghilangkan gap antara personil militer dengan sipil yang banyak dibayangi oleh sistem politik masa lalu. Dengan dilaksanakannya Wajib Militer dapat mendorong transparansi militer terhadap sipil, sehingga dapat terwujud adanya “check and balance” yang lebih baik. Militer tidak merasa lebih super terhadap masyarakat sipil dan sebaliknya masyarakat sipil merasa lebih memiliki tanggungjawab terhadap keselamatan negara dan bangsa sama seperti militer. Aplikasi Wajib Militer di beberapa negara maju yang mampu secara finansial untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut sangat bervariasi. Bagi Indonesia penerapan Wajib Militer dapat menjadi kebutuhan dalam rangka menggadakan kekuatan pertahanan yang ada.

9. Kesimpulan

a. Pada prinsipnya banyak persamaan antara peran militer di Bangladesh, Mesir, Myanmar, Pakistan dan Thailand dihadapkan dengan situasi yang ada di Indonesia, khususnya sebelum reformasi. Persamaan tersebut meliputi beberapa hal mendasar, seperti persepsi mengenai profesi Angkatan Perang dalam suatu negara berkembang, yang berbeda dengan persepsi militer negara-negara Barat; konsep keamanan nasional; peran militer dalam pembangunan nasional; arti dan fungsi nilai-nilai dasar bangsa bagi pembentukan kekuatan nasional. Tuntutan perubahan dalam suatu negara pada umumnya terjadi manakala kebutuhan manusia yang paling dasar telah sampai pada batas, yaitu masalah kesejahteraan ekonomi dan keamanan sosial. Dari kejadian kudeta di beberapa negara diatas, tuntutan perubahan pada umumnya dipicu dari kegagalan pemerintah (apakah militer atau bukan) untuk mensejahterakan rakyatnya. Jati diri/karakter militer sebagai penyelamat bangsa dan negara di negara-negara berkembang merupakan alasan utama mengapa militer mengambil tindakan kudeta sebagai legitimasi untuk menyelamatkan kepentingan dan keamanan nasional.

Dalam konteks ini ideologi penyelamatan yang diusung militer adalah kegagalan rezim berkuasa dalam membawa masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Penyelamatan yang dilakukan oleh militer dengan mengambil alih kekuasaan dari rezim berkuasa, pada awalnya banyak yang berhasil, namun setelah berkuasa sekian lama justru menyengsarakan masyarakatnya. Dalam jangka panjang, kinerja ekonomi dibawah rejim militer menjadi turun karena sesungguhnya militer adalah para professional/ manajer dalam bidang kekerasan. Oleh karena itu ketika urusan ekonomi diserahkan pada rejim militer, ada kecenderungan menjadi korup, tidak transparan dan tidak akuntabel, sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara publik. Akibatnya kekayaan negara yang sedemikian besar tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, sehingga timbul gejolak sosial dan tuntutan mundur dari kekuasaan.

b. Perbedaan yang ada antara Indonesia dengan negara-negara tersebut saat ini terkait dengan hubungan sipil-militer adalah; Pertama Indonesia telah lepas dari pengaruh kekuasaan rezim yang didukung oleh militer dalam menjalankan kekuasaannya. Pemilihan umum tahun 2004 yang menghasilkan pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlangsung aman, jujur dan fair, membuktika bahwa Indonesia telah berubah. Keterlibatan militer/ TNI tampil dalam urusan politik telah dibatasi dan bahkan tertutup sama sekali. Hal ini selain diatur dalam undang-undang juga karena komitmen pimpinan TNI untuk melibatkan diri dalam urusan politik prakttis. Pemerintah mendorong sepenuhnya agar TNI menjadi profesional dalam bidang pertahanan dan hal-hal lain yang masih relevan dengan tugasnya. Sistim pemerintahan diupayakan sepenuhnya dikendalikan tiga pilar utama yaitu pemerintahyang dipilih rakyat, parlemen (DPR) dan peradilan yang masing-masing secara independen melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi ini ”check and balance” telah berjalan walaupun tidak maksimal. Elit politisi sipil dan masyarakat masih belum sepenuhnya mengerti masalah pertahanan, sehingga ”check and balance” masih dalam wacana dan eforia pembatasan-pembatasan hak-hak yang dimiliki TNI di masa lalu.

Kedua, secara sepesifik perbedaan di negara-negara tersebut dengan situasi di Indonesia saat ini digambarkan sebagai berikut ;

1) Iklim keterbukaan Myanmar sangat sedikit, sehingga masyarakat sipil hidup dalam keterbatasan informasi dan juga karena mereka secara psikologis cukup tertekan. Bahkan karakter militer yang dibentuk membuat anggota militer Myanmar masih sangat tertutup dan sulit menerima keterbukaan dan perubahan. Di sini tidak ada sama sekali proses demokrasi ”check and balance” dan bahkan ada negara dan pemerintahan berkuasa mutlak terhadap rakyatnya. Hubungan dengan dunia internasional sangat terbatas, namun negara tetangga seperti India dan Cina justru memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan mereka masing-masing, seperti sumber daya alam minyak dan gas. Dengan diapit dua negara besar dan memiliki kepentingan yang sama, nyaris Myanmar sulit diprediksi bisa berubah.

2) Ketidakpercayaan militer Pakistan pada pimpinan sipil atau keinginan militer untuk tetap berkuasa karena situasi negara Pakistan belum dalam kondisi damai sepenuhnya karena masih diwarnai dengan ketegangan masalah Kashmir dengan India. Disamping itu aliansi kerjasama dengan AS dalam melawan terror di Afghanistan. Dalam pandangan kepentingan AS, rejim militer masih dibutuhkan, terutama dalam menangani kelompok-kelompok Islam garis keras. Kemajuan yang peroleh oleh militer Pakistan berhubungan AS, selain memperkuat kapabilitas militer juga dukungan politik untuk tetap berkuasa, selama kepentingan AS dapat diperjuangkan oleh Pakistan.

3) Kudeta yang beberapa kali terjadi di Bangladesh telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat sipil Bangladesh yang tersetruktur dalam kelompok-kelompok politisi sektarian, famili dan lain sebagainya. Dalam pemerintahan sipil saat ini, kehadiran militer menjadi tumpuan untuk menjaga stabilitas dalam negeri. Keengganan untuk sementara kalangan militer tampil dalam perebutan kekuasaan disebabkan oleh terlalu besar resiko yang akan dihadapi, mengingat masalah sosial yang ditimbulkanya terlalu kompleks.

4) Kehidupan demokrasi di Mesir saat ini masih diwarnai oleh hubungan sipil-militer yang semu, mengingat kekuasaan rezim militer terlalu kuat dan menekankan pada stabilitas. Kekuasaan militer masih terlalu kuat dan kontrol atas media massa serta masyarakat sangat ketat, sehingga pihak oposisi melakukan protes dan menuntut kebebasan yang lebih.

5) Demikian juga hubungan sipil-militer di Thailand yang demokrasi monarkhis, terbayang-bayangi oleh kudeta konstitusional yang melegalkan kehadiran militer dalam sistem demokrasi di negara tersebut.

Dibandingkan dengan kelima negara tersebut Indonesia sangat beruntung telah keluar dari hubungan sipil-militer semu dan sedang menata pada dasar-dasar hubungan sipil-militer yang ideal dalam alam demokrasi, namun sesuai dengan budaya Indonesia. Potensi untuk mencapai proses hubungan sipil-militer yang ideal cukup besar dan mendorong kehidupan demokrasi di Indonesia.

c. Perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia mengalami pasang surut sejak merdeka hingga saat ini. Selama pemerintahan Presiden Sukarno, ujian pertama yang dialami dalam hubungan sipil-militer adalah penolakan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk menyerah kepada Belanda, dan memilih bergerelya untuk melanjutkan perang mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan ujian terakhir dalam hubungan sipil-militer terjadi saat Presiden Sukarno menyerahkan kewenangan kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mengatasi gejolah keamanan paska terjadinya kudeta yang gagal oleh G30S/PKI. Kedua peristiwa ini telah menjadi doktrin dalam pembinaan kepemimpinan prajutrit TNI, dimana tindakan yang tepat ”penyelamatan” oleh seorang perwira dalam menghadapi situasi kritis akan mampu menghindari kerugian besar yang dihadapi bangsa ini, walaupun harus melakukan langkah-langkah diluar norma yang ada. Setelah Presiden Soeharto mendapat mandat dari MPR, penataan pembangunan yang bertumpu pada stabilitas dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan dianggap sebagai pilihan tepat saat itu, yang akhirnya membawa bangsa Indonesia pada berbagai kemajuan yang membanggakan.

Pada saat dan paska reformasi paling sedikit ada tiga peristiwa penting yang menjadi ujian dalam hubungan sipil-militer di Indonesia, yaitu ;
Pertama, saat pengunduran diri Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan karena tekanan masyarakat, pimpinan TNI saat itu lebih memilih berdiam diri, sehingga kekuasaan beralih kepada Wakil Presiden B.J. Habiebie. Sikap berdiam diri yang dilakukan pimpinan TNI merupakan langkah tepat ”penyelamatan” bangsa dan negara dari kerugian yang lebih besar, jika terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh TNI.
Kedua, Penolakan oleh pimpinan TNI terhadap kebijakan kontrovesial Presiden K.H. Abdulrahman Wahid yang menyatakan dekrit merupakan langkah tepat ”penyelamatan” yang akhirnya menjatuhkan kekuasaan presiden. Kondisi ini dapat memancing TNI untuk terlibat jauh dalam politik kepentingan, namun pimpinan TNI saat ini lebih memilih tidak menuruti instruksi presiden, dan ternyata itu adalah pilihan tepat.

Ketiga, Keputusan kontroversi Presiden Megawati Sukarnoputri untuk menunjuk Kasad Jenderal TNI Ryamizar Ryacudu sebagai Panglima TNI justru saat menjelang pemilu. Pro dan kontra pengangkatan Panglima TNI akhirnya menjadi polemik. Keputusan pengangkatan Marsekal TNI Djoko Sujanto oleh presiden terpilih dan sikap loyal TNI pada keputusan presiden telah mengakhiri polemik tersebut.

d. Setelah bangsa Indonesia berhasil menempatkan hubungan sipil-militer yang relatif tepat, yang memiliki nuansa kontrol atas militer oleh otoritas sipil pemenang pemilu, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian segenap bangsa dan penentu kebijakan di masa depan, adalah sebagai berikut; Pertama, Menjaga agar kepentingan organisasi TNI tetap solid dan tidak terkait langsung dengan upaya untuk mengatasi secara finansial kebutuhannya sendiri. Kedua, Memberi ruang untuk terciptanya profesialisme prajurit TNI, sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas pertahanan dengan baik dan proporsional. Ketiga, Mencegah terjadinya disposisi TNI kedalam ruang kewenangan sipil akibat tidak siapnya pemerintahan sipil dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang berakibat timbulnya ketidak percayaan masyarakat. Seperti terjadi di negara Myanmar dan Bangladesh. Keempat, Beri peluang kepada TNI untuk melakukan transfer sistem persenjataan dan teknologi militer yang dapat ”menyibukkan” dan ”membanggakan” dirinya sebagai prajurit TNI untuk mengembangkan profesinya dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan negara dan bangsa.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Mesir dan Pakistan dalam memperkuat angkatan bersenjatanya untuk menghadapi ancaman langsung dari negara tetangganya. Kelima, memperkuat birokrasi sipil agar pemerintahan berjalan efektif dan tidak terpengaruh oleh dinamika pergantian pemerintahan dengan memperbanyak hubungan antara kader kepemimpinan sipil dan TNI yang memiliki kualitas dan kemampuan yang memadai serta latar elakang yang sama untuk menciptakan kebersamaan. Hal mana terjadi di Thailand, dimana birokrasi cukup kuat dan secara umum terpisah dari kepentingan politik.

e. Kudeta sebagai pengakhiran kekuasaan sipil bukan merupakan budaya TNI yang memiliki semangat pengabdian kepada negara dan bangsa Indonesia berbentuk NKRI yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945. Bagi TNI, kegiatan kudeta yang satu akan diikuti dengan kudeta lainnya, sehingga tidak akan menyelesaikan masalah namun memunculkan masalah baru yang jauh lebih besar. Pengalaman kudeta militer yang terjadi di Bangladesh, Mesir, Myanmar, Pakistan dan Thailand menjadi contoh yang baik bagi TNI untuk tidak mengikutinya. Hal ini disebabkan oleh TNI memiliki sikap kearifan dalam bentuk jati diri TNI sebagai tentara pejuang yang profesional dan dilandasi oleh Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 11 Azas Kepemimpinan Tni, 8 TNI Wajib dan Kode Etik Perwira TNI yang telah membentuk karakter pribadi prajurit TNI. Namun demikian, tidak ada jaminan TNI secara mutlak di masa depan akan tunduk pada otoritas sipil, apabila ; Terlalu banyak ikut campur sipil dalam urusan internal TNI; Terancamnya pilar-pilar berbangsa dan bernegara seperti NKRI yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, dan tidak adanya kemampuan yang memadai pada aparat sipil dalam kepemimpinan nasional terlebih dalam masalah pertahanan. Mengantisipasi masalah diatas, maka perlu adanya penguatan secara berlanjut atas TNI dan sipil secara kelembagaan dan perorangan agar memiliki kapabilitas memadai dalam bidangnya masing-masing, sehingga dapat mencegah friksi diantaranya, dengan memperhatikan faktor kesejahteraan bagi prajurit TNI dan ancaman pelanggaran hukum dan HAM, sebagai akibat tidak jelasnya ketentuan perundang-undangan yang ada hingga saat ini.

10. Saran.

Beberapa hal sebagai saran pertimbangan dalam menata hubungan sipil-militer di Indonesia dan menghindari intervensi TNI dalam politik demokrasi, setelah mempertimbangkan pengalaman masa lalu dan perkembangan hubungan sipil-militer di Pakistan, Myanmar, Bangladesh, Mesir dan Thailand, sebagai berikut;

1) Perlu ada keputusan politik yang memiliki landasan hukum mengikat bagi TNI maupun politisi sipil untuk tidak menjadikan dikotomi sipil-militer sebagai wacana dalam pemilihan pucuk kepemimpinan nasional maupun daerah.

2) Perlu adanya keputusan politik yang memiliki ladasan hukum mengikat yang dapat menjamin keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan hidup bagi bangsa Indonesia yang bersifat final.

3) Perlu mempersiapkan kader pemimpin masa depan yang memiliki konsep pemikiran satu, yaitu negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui pembetukan SMA TN yang lebih banyak di Indonesia, memperbanyak pendidikan keahlian dibawah departemen dan memperbanyak pembentukan fakultas pertahanan di perguruan tinggi.

4) Perlu merancang penerapan RMA dilingkungan TNI yang implementasinya dilakukan secara evolusi untuk mencegah dampak yang ditimbulkan dan tetap memberi ruang pada TNI dalam meningkatkan profesionalitasnya.

5) Perlu merealisasikan pembentkan komponen cadangan dalam masyarakat Indonesia secara bertahap dalam rangka mempercepat proses pendekatan hubungan sipil-militer (TNI) dan pembentukan sadar bela negara sebagai penjabaran dari konstitusi.

6) Perlu peningkatan kesejahteraan personil TNI melalui dukungan terhadap kebutuhan anggaran pertahanan, penataan bisnis TNI secara tepat dan pembangunan fasilitas TNI yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas pertahanan.

7) Perlu mempercepat payung hukum hukum terkait status TNI dalam masalah partisipasi politik (hak pilih dan memilih), terkerkaitan masalah pidana, dan perlindungan hukum terhadap ancaman pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugas.

8) Perlu meningkatkan kemampuan elit politik sipil, terutama terkait dengan masalah pertahanan, agar dapat melakukan ”check and balance” secara tepat dan benar terhadap pemerintah dan TNI.

11. Penutup.

Demikian kajian hubungan sipil militer di beberapa negara dihadapkan dengan kondisi Indonesia, dapatnya sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan lebih jauh terhadap pembangunan TNI dan aspek pertahanan di masa mendatang.

Jakarta, November 2007
[1] PM Ali Bhutto pada tahun 1972 mengatakan:” memperhatikan perkembangan masa depan, jika kita tidak mampu membuat sistem parlemen yang berjalan dengan baik, jika kita merusak sistem itu sendiri, serta jika Konstitusi kita rusak, maka kemungkinan besar militer akan turut campur kembali”.
[2] Para pejuang Afghanistan yang dulu didukung Pakistan dan AS dalam menghadapi Uni Sovyet, justru saat ini diburu tidak hanya oleh kekuatan tentara koalisi pimpinan AS, tetapi juga oleh Pakistan, yang nota bene juga memiliki akar budaya dan agama yang sama. Hal ini bisa jadi menimbulkan kebencian yang nyata terhadap karakter pemimpin militer tersebut yang berimplikasi buruk tidak saja bagi pemerintah tapi bagi tatanan kehidupan masyarakat.
[3] Dalam surat kepada Jenderal Yahya Khan, disampaikan tentang saran perubahan dalam konstitusi bahwa ….tanggung jawab secara legal dan konstitusional bagi militer untuk mempertahankan negara tidak saja untuk mempertahankan dari ancaman eksternal tetapi juga menyelamatkan negara dari kekacauan dan kegagalan internal. Jenderal Ayub Khan juga secara hati-hati menghilangkan arti kata bahwa dalam perang maupun damai, militer terikat tugas dibawah kendali otoritas sipil.
[4] The Five Principles of Peaceful Co-existence disepakati oleh Burma, India, dan Cina pada than 1950 dan selanjutnya diadopsi sebagai prinsip dalam gerakan non-blok dalam hubungan internasional. Lima hal itu yaitu (1) saling menghormati wilayah dan kedaulatan masing-masing negara, (2) non-agresi, (3) tidak ikut campur urusan dalam negeri, (4) persamaan dan saling menguntungkan, (5) hidup berdampingan secara damai dan penyelesaian perselisihan secara damai.